Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai--Dorothy Law Nolte
Ingatan saya tentang sekolah tak lebih seperti penjara. Betapa menyebalkan harus bangun di pagi hari, dipaksa merasakan dinginnya air dan berpakaian rapi dengan ragam peraturan ; kaos kaki putih, sepatu hitam, dan dasi.
Belum lagi menghadapi perbedaan perilaku di sekolah, entah guru yang pilih kasih atau lingkaran pertemanan antara suku satu dengan suku lainnya – karena tinggal di daerah transmigrasi dengan ragam perbedaan tentunya.
Dan, saya bersyukur dengan kondisi rumah serta ibu mengajarkan bagaimana melihat dan menghargai perbedaan, baik itu secara suku dan ras maupun agama.
Itu kenapa pada masa itu, kegiatan pulang sekolah adalah hal-hal yang dinantikan. Tak ada yang lebih menyenangkan dari aktivitas di sekitar rumah.
Saya melewatkan masa rutinitas sekolah dengan biasa saja. Menyimak guru semaunya, mengerjakan PR, membersihkan kelas saat piket tanpa ada ambisi apapun terhadap nilai-nilai pelajaran.
Saya tidak peduli apakah saya mengerjakan dengan baik atau tidak. Apakah saya dapat juara atau tidak. Yang penting saya sekolah agar tidak dimarahi ibu.
Hingga suatu hari, seorang guru baru tiba-tiba menjadi wali kelas saya. Saya tidak mungkin lupa momen di kelas 4 Sekolah Dasar. Usia saya sembilan tahun saat itu, dan sudah lebih dari dua dekade masa itu terlewatkan.
Namun, apa yang terjadi pada saat itu mengubah pandangan saya sebagai bocah yang tidak tahu apa-apa, akhirnya menemui dunia menyenangkan dari sebuah sekolah.
Kalimat Pujian yang Mengubah Langkah Ini