Lihat ke Halaman Asli

Eka Fitriani

A Javanese

Hujan Uang

Diperbarui: 2 Desember 2019   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini, matahari masih sama tak bersahabatnya seperti kemarin. Begitu terik, silau, dan membakar. Orang-orang mulai mengeluh, beberapa berlarian mencari tempat berteduh. Tapi pedagang es malah bersuka cita. Dagangan mereka ludes tak bersisa bahkan sebelum habis hari ini.

Ini bulan Juli, musim kemarau yang sama kemaraunya seperti kondisi Herman. Pemuda 25 tahun ini sudah berpuasa sejak dua hari lalu. Bukan mau bertaubat tapi lebih ke menjalankan rencana untuk berhemat. Cuaca panas hari ini, pun grobak-grobak tukang es yang ramai, benar-benar suatu cobaan baginya.

"Sial, sekali aku. Bahkan alam enggan mendukung rencana berhematku." Gerutunya dalam hati.

Dulu sewaktu masih mahasiswa, Herman sering mengeluh. Tugas yang menumpuk lah, dosen yang killer lah, sampai harga kost yang naik lima puluh ribu. Namun, beberapa tahun terakhir keluhan-keluhannya menjadi semakin sering. Mungkin sebagian besar hal yang ia ucapkan setiap hari adalah sebuah keluhan.

Bukan tanpa sebab Herman mengeluh setiap saat. Sejak lulus kuliah hingga saat ini terhitung sudah tiga tahun ia menganggur. Waktu yang lama untuk mengeluhi nasibnya. Berpuluh-puluh seminar kewirausahaan telah ia ikuti, puluhan buku motivasi tak pernah absen dibeli, juga ratusan percobaan demi mendapat pekerjaan atau minimal usaha berdagang sudah dicoba Herman. Tapi tetap saja, ujung-ujungnya hal itu hanya akan membuatnya mengeluh lebih banyak lagi.

"Mas Herman gak mau minum es mas?" Tiba-tiba seorang pedagang yang cukup akrab dengan Herman bertanya.

"Aah, gak usah pak. Saya gak haus." Tolak Herman halus.

"Ya sudah kalo gitu mas. Bapak mau jalan dulu keliling sini." Balas pedagang tersebut sambil mulai menggenggam dorongan gerobaknya, mengangguk pelan kearah Herman. Pamit.

"Iya pak silahkan." Jawab Herman sembari membalas anggukan si penjual es itu.

Setelah kepergian penjual es itu, tinggalah Herman seorang diri di bangku taman. Sendiri selalu membuatnya melamunkan hal-hal bahagia seperti menjadi sukses dan kaya. Tapi kemudian akan merutuki lagi kebodohannya menghayal. Sayangnya meski sudah dirutuki sendiri, Herman tidak berubah.

"Coba saja ada hujan uang, aku gak akan sesusah ini." Lirih Herman bergumam, cukup untuk ia dengar seorang diri saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline