Mainstream
Untuk mendapat gambaran tentang adanya latar belakang pembentukan Bank Muamalat Indonesia, setidaknya ada lima asumsi dasar yang penting untuk dicermati oleh kita. Pertama, Madzhab pemikiran Posmodernisme. Kedua, perjuangan panjang umat Islam Indonesia. Ketiga, kontinuitas sejarah Bank Islam. Keempat,politik akomodasi Sooeharto. Kelima, refleksi sifat diri, lembaga, dan situasi. Tetapi dalam pembahasan kali ini saya akan menjelaskan tentang bagaimana Sejarah Madzhab Mainstream, Tokoh Madzhab Mainstream, dan Pemikiran Madzhab Mainstream.
1. Sejarah Madzhab Mainstream Pemikiran Posmodernisme.
Sebagai sebuah era dan metodologi berpikir, posmodernisme merupakan gerak simultan dari era sebelumnya, yaitu tradisionalisme dan modernisme, terutama, setelah tradisionalisme dan modernisme tidak memberikan jaminan kepastian bagi kehidupan manusia. Pergeseran paradigma dari tradisionalisme ke modernisme, dari modernisme ke posmodernisme, dan loncatan-loncatan paradigm yang berjalan secara terus menerus, dalam(M. Nur Yasin, 2009:125) perspektif sosiologi memunculkan suatu kajian yang oleh Emest Gellner disebut a pendulum swing theory.
Seperti yang diungkap Hadiwinata, modernisme tidak sekedar mencakup hegemonisasi peradaban Barat atas peradaban Timur, industrialisasi, teknologi, dan konsumerisme, namun juga memunculkan rasialisme, diskriminasi, stagnasi, dan marginalisasi. Posmodernisme memberikan ruang bagi manusia yang aktif, mencari politik posmodernisme baru, dan memberikan peran yang besar bagi agam, sehingga berimplikasi kepada dua hal.
Pertama, dijadikannya oleh masyarakat global sebagai landasan dan ciri penting kehidupan. Tidak heran jika nuansa keagamaan(religiusitas atau spiritualitas) semakin menguat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kedua, dijadikannya agama untuk menyemangati dan menjiwai kajianlintas disiplin.
Posmodernisme mengakui eksistensi agama-agama dan hal-hal yang dimarginalkan oleh modernisme. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi posmodernisme untuk menolak metodologi agama, termasuk di sini adalah metodologi Islam. Posmodernisme memberikan dasar-dasar ((M Nur Yasin, 2009:126) justifikasi dan legitimasi yang mendasar dalam mengantarkan umat Islam menuju kepada paradigma syariah di bidang ilmu ekonomi.
Dalam konteks paradigma syari'ah, diskursus Perbankan Syariah, terkhusus Bank Muamalat Indonesia, menemukan jati dirinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kerangka fundamental dari kontruksi BMI tak lain adalah menggunakan paradigma syariah.
Karakter fundamental yang khas dari paradigma syari'ah, seperti diungkap Muhammad Arif, adalah khalifah fi al-ardl. Individu tidak sebatas hanya diperhambahakan kepada kolektivitas dengan tanpa menghargai kemaslahatan individu itu sendiri sebagaimana dicirikan paradigm marxin dengan dialektika matrealismenya.
Tidak pula, individu sekadar bermakna individualisme utilitarian di mana individu hanya diperhambakan untuk kepentingan individu sebagaimana dicirikan ekonomi pasar (Kapitalisme)dengan laissesz faire-nya. Tetapi, yang dimaksudkan dengan khalifatullah fi al-ardl setidaknya ada dua hal. Pertama, individu yang bermakna representasi dan untuk kemaslahatan kolektif. Kedua, kolektivitas yang menghargai dan memberi perhatian yang besar pada kemaslahatan individu di tengah kemaslahatan kolektif.
Mengacu kepada a pendulum swing theory Emest Gellner yang memotret adanya pergeseran loncatan-loncatan akan terus berjalan dari satu titik paradigma ke titik paradigm yang lain, bisa dikatakan bahwa BMI merupakan satu titik atau tahap tertentu yang keberadaanya adalah bukan suatu kebetulan dan tidak lepas dari kemestian untuk dilewati oleh loncatan-loncatan paradigm perbankan sebelum dan sesudahnya.
Jika perbankan yang ada sebelum Bank Syariah telah(M Nur Yasin, 2009:127) mengindikasikan dominasi paradigm modern, dan Bank Syariah menggunakan paradigm syariah, bukan tidak mungkin bahwa perbankan yang muncul setelah Bank Syariah adalah perbankan yang dijiwai paradigma pasca-posmodernisme yang indikasi dan karakternya belum bisa diprediksi saat ini. Dalam konteks inilah kehadiran BMI tak lepas dari Mainstream diskursus posmodernisme (M Nur Yasin, 2009:128).
2. Tokoh-tokoh Madzhab Mainstream.
Madzhab Mainstream berbeda pendapat dengan Madzhab Baqir. Madzhab kedua ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik ekuilibrium.