Selain fenomena "cabe-cabean" yang melanda Indoensia, belakangan ini fenomena "bunuh-bunuhan" juga sedang menjadi tren di Indonesia. Dapat kita lihat bahwa dalam tayanga berita setiap harinya, ada saja orang yang menjadi korban pembunuhan. Hal ini membuat saya menjadi heran, kenapa sekarang kejadian ini terus berkembang? Bukannya berkurang, tapi malah semakin bertambah banyak kasus. Apakah masyarakat sudah tidak takut pada hukuman? Ataukan hukuman yang diberikan kepada para tersangka kurang berat sehingga kasus ini terus-menerus terjadi?
Lantas, sebagai warga Indonesia apa yang harus kita lakukan? Kasus ini bukan hanya melibatkan orang-orang dewasa sebagai tersangka. Bahkan anak-anak remaja juga sudah terlibat menjadi tersangka dalam beberapa kasus pembunuhan. Seperti yang terjadi di Pontianak. Seorang pria muda tega menghabisi nyawa kekasihnya sendiri. Menurut saya, kejadian ini bisa terjadi karena seringnya tayangan televisi yang menayangkan reka ulang kejadian pembunuhan. Selain itu, memang ada juga beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pria terhadap kekasihnya. Hal inikah yang mungkin memicu banyaknya kejadian pembunuhan dikalangan anak muda?
Karena maraknya kasus pembunuhan yang melibatkan anak remaja, saya mendatangi PKBI Pontianak dan bertemu dengan psikolog anak bernama H. Armijn Ch. S. Besman atau yang disapa Alif untuk membicarakan masalah pembunuhan ini. Menurutnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dikalangan remaja. Salah satunya adalah kontrol sosial yang saat ini sudah mulai kendor. Sebenarnya kontrol sosial ini sangat penting dan diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Agar satu sama lain dapat saling mengontrol perilaku mereka. Sehingga apabila terdapat perilaku yang menyimpang, pihak lain dapat mengingatkan atau memberi masukkan.
Selain masalah kontrol sosial yang mulai kendor, perhatian dari orang tua juga perlu lebih ditingkatkan. Menurut Alif, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua saat ini kepada anaknya sudah tidak sesuai. Kebanyakan orang tua masih menggunakan pola asuh lama, di mana mereka bertindak otoriter dalam menentukan segala keputusan. Sehingga anak menjadi takut ketika akan menceritakan apa yang dia alami, karena takut dimarahi oleh orang tuanya. Hal ini perlu diubah. Lanjut Alif, komunikasi yang harus dibina antara anak dan orang tua saat ini adalah komunikasi dua arah. Dengan begitu, anak akan lebih terbuka kepada orang tua. Mereka tidak akan menganggap orang tua sebagai musuh, namun akan lebih menjadikan orang tua mereka sebagai teman tempat mereka mencurahkan segala keluh kesah yang dirasakannya. Pengawasan orang tua ini perlu lebih diperhatikan. Walaupun anak sudah mendapatkan pendidikannya di sekolah, namun waktu yang ia habiskan di sekolah tidak sebanding dengan waktu yang ia habiskan di luar sekolah yaitu dalam lingkungan sosialnya. Sehingga orang tua tidak bisa hanya menggantungkan pihak sekolah untuk mendidik anaknya. Orang tua juga turut berperan dalam pembentukan pribadi anak yang lebih baik, dibantu dengan pembelajaran dari sekolah.
Alif menuturkan bahwa saat ini anak-anak kurang mengenal adat. Mereka tidak tahu bagaimana bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. Yang menjadi sorotannya adalah pendidikan formal di sekolah, di mana pelajaran PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) saat ini sudah dihilangkan karena dianggap tidak efektif. Sangat disayangkan, anak-anak remaja kita saat ini tidak mendapatkan pelajaran mengenai etika. Sehingga mereka cenderung bersikap semaunya sendiri. Faktor-faktor ini apabila tidak diterapkan, akan membuat perilaku anak menyimpang. Tidak menutup kemungkinan bahwa penyimpangan ini akan berakibat pada tindakan ekstrim seperti kekerasan dan pembunuhan.
Efek jera yang diberikan kepada tersangka yang melakukan aksi kejahatan sudah tidak efektif. Oleh karena itu, harus dipikirkan hukuman apa yang benar-benar cocok untuk para pelaku kejahatan supaya mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya. Apabila pelaku kejahatan hanya dimasukkan ke penjara dan di dalam penjara mereka tidak mendapatkan apa-apa, maka saat keluar nanti mereka akan kembali mengulangi aksinya. Bahkan mungkin bisa lebih parah daripada yang sebelumnya. Karena ada faktor yang mempengaruhinya untuk berbuat lebih keji. Seperti salah satunya faktor lingkungan sosialnya yang mengucilkannya dari pergaulan karena ia pernah menjadi tahanan.
Salah satu perkataan Alif yang menurut saya sangat cocok untuk dijadikan refleksi adalah "anak-anak itu tidak minta kita lahirkan. Mereka lahir karena perbuatan kita. Jadi jangan menuntut mereka bertanggungjawab kalau kita sebagai orang tua tidak bisa bertanggungjawab atas perbuatan kita sendiri". Mungkin hal ini dapat dijadikan perenungan untuk diri kita sendiri.
Tulisan ini hanya sekedar opini karena maraknya kasus pembunuhan disekitar kita yang melibatkan anak-anak. Bagi pembaca, silahkan memberikan komentar atas opini saya. Mungkin dapat membenarkan apa yang salah dan melengkapi apa yang belum diketahui sehingga dapat menambah wawasan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H