Lihat ke Halaman Asli

Eka Nur Ramdhaniah

Mahasiswi Sejarah Universitas Indonesia

Perhimpunan Banten di Batavia pada Awal Abad ke-20

Diperbarui: 20 Juni 2020   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita mengenai perhimpunan Boedi Banten pada surat kabar soerasowan

Banten merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial setelah jatuhnya kesultanan. 

Sejarah Banten diidentikan dengan kasus pemberontakan yang sering terjadi akibat perasaan sentimen kepada pemerintah kolonial dan priyayi serta kuatnya pengaruh agama islam khususnya di wilayah Banten Utara.

Keadaan Banten sebagai daerah miskin tergambar melalui kondisi jalanannya yang sepi dan jarang terdapat rumah, kondisi kemiskinan penduduk di Banten Utara tergambar melalui kondisi alam hingga sering terjadi bahaya seperti gempa bumi, penyakit hewan yang hebat, dan pemberontakan.

Sehingga Banten menjadi salah satu karesidenan yang kurang mendapat perhatian walaupun wilayahnya hanya berjarak 91 km dari Batavia. 

Akibat pemberontakan yang sering terjadi di wilayah Banten membuat daerah ini dibiarkan bodoh dan terbelakang dalam segi ekonomi dan pendidikan oleh pemerintah kolonial hingga setelah pemberontakan 1888 berhasil ditumpas, pemerintah kolonial mengambil kebijakan dengan menempatkan pesantren dibawah pengawasan ketat karena dianggap sebagai tempat pengendalian ideologis para santri serta dikembangkan sekolah-sekolah modern untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonial dan melawan eksistensi sekolah tradisional islam di masyarakat bahkan pemerintah mulai membangun insfrastruktur guna membuka daerah Banten yang terisolir untuk mengurangi pengaruh kyai dan pesantren serta daerah yang dikuasai oleh Jawara.

Namun, meskipun pendidikan modern bagi pribumi telah berkembang, sayangnya minat masyarakat dalam hal pendidikan secara umum masih kurang. Tingkat ketidakhadiran siswa lumayan tinggi, karena anak-anak seringkali harus membantu pekerjaan orang tuanya.

Hal ini terutama terjadi di daerah yang lebih terbelakang seperti Karesidenan Banten. Tingkat ketidakhadiran rata-rata untuk Kabupaten Serang adalah 15%, Batavia 8% [1] Buitenzorg 10%, Karawang 6%, Indramayu 8% dan Majalengka 7% . Sehingga Banten tergolong sebagai wilayah dengan tingkat partisipasi pendidikan Barat (modern) terendah di Jawa.

Pemberontakan komunis 1926 membawa dampak yang cukup serius kepada kehidupan masyarakat Banten dimana pemerintah kolonial melakukan pengawasan dan pengontrolan tsecara ketat sehingga memberikan kesadaran bagi golongan intelektual Banten untuk berkonstribusi pada kemajuan masyarakat.

Akibatnya berkembanglah perhimpunan kedaerahan yang dibentuk oleh orang-orang Banten seperti  Sarekat Islam, Perhimpunan Tirtajasa, Oud Banten, dan Perhimpunan Boedi Banten.

Namun, tidak hanya faktor diatas saja yang melatarbelakangi perkembangan perhimpunan kedaerahan Banten karena perkembangan perhimpunan Banten juga tidak bisa dipisahkan dari perkembangan perhimpunan kedaerahan sebagai bentuk kebangkitan kaum pergerakan pada awal abad ke-20, yang salah satu cirinya adalah digunakannya nama asal daerah pada nama perhimpunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline