Lihat ke Halaman Asli

Eka MP

Penulis - Blogger

Candenza di Ujung Simfoni

Diperbarui: 10 Maret 2020   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

diolah dari quartahospitalityinrome.com | Cadenza di Ujung Simfoni

“Setiap tanggal 9 Maret Kita Merayakan Hari Musik Nasional. Kau tahu alasannya?” Ayahnya menatap tajam, menunggu.

“Ya. Hari lahir W.R. Supratman.”

“Ayah ingin kau menjadi sehebat beliau. Menjadi komponis hebat di usia muda.”

Percakapan itu tak pernah lagi lekang dari ingatannya sejak usia empat tahun, sejak dia pertama kali menyentuh tuts piano takdirnya sudah ditetapkan. Menjadi seorang komponis, sehebat pencipta lagu kebangsaan Indonesia.

Hari-harinya dihabiskan di depan piano melatih kelenturan jemari, mengenal birama atau belajar membaca partitur. Dia melihat teman-teman seusianya bermain dengan gembira. Tak ada kewajiban apapun, lepas dan bebas. Tapi itu bukan hidupnya. Bermain hanyalah impian yang tak mungkin mewujud. Dia memahaminya dengan jalan yang keras.

Siang itu hujan deras, dia mendengar teriakan anak-anak yang bermain di jalan depan rumahnya. Seperti apa rasanya air hujan saat menyentuh kulit? Rasa ingin tahunya bergejolak. Rumah sepi, mungkin ayahnya sedang tidur. Diambilnya kesempatan untuk menyelinap keluar dan merasakan bulir-bulir hujan jatuh di wajah.

Dia berteriak, berputar-putar, tertawa dan menangis bersamaan, saat itulah dia memahami tentang makna kebebasan dan konsekuensi yang harus ditanggungnya. Entah bagaimana ayahnya tiba-tiba sudah merenggut lengannya dan menyeretnya masuk.

Ketika mengantarnya sampai depan pintu ruang kerja ayahnya setelah mandi, perempuan tua yang dipanggilnya simbok itu mengelus kepalanya dan tersenyum. Dengan punggung ditegakkan dia melangkah masuk. Ayahnya berdiri di balik meja kerja dengan tongkat rotan di tangan, hukumannya menunggu.

Duduk di kursi di tengah ruangan kerja yang besar membuatnya seperti makhluk tak berdaya. Tidak, ayahnya tak pernah memukul tangannya. Tangan seorang pianis adalah hidupnya. Hidup ayahnya berakhir saat tangannya terluka akibat kecelakaan, hanya itu yang dia tahu, tak ada penjelasan apapun lagi tentang peristiwa tersebut.

“Kau tahu kenapa diberi nama Daniswara Lokananta?” Sambil terus menunduk dia menggeleng, tak berani menjawab.

“Lokananta adalah alat musik yang hanya bisa dimainkan oleh para kesatria. Dan kau, Daniswara,  adalah raja para kesatria.” Pria itu kini berdiri di belakangnya, tangannya mengayunkan tongkat rotan sambil terus berbicara dengan kemarahan yang menggelegar, “Bermain-main hanya untuk rakyat jelata tak berguna! Bukan untuk raja!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline