Babakan Siliwangi merupakan salah satu hutan kota yang berada di Kota Bandung. Sebagai sebuah hutan kota kawasan babakan siliwangi berfungsi menjadi salah satu ruang terbuka hijau. Hal tersebut menjadikan Babakan Siliwangi lokasi yang strategis sebagai kawasan hutan kota. Lokasi Babakan siliwangi berada pada cekungan menghadap ke Sungai Cikapundung.
Sejarah Babakan Siliwangi diawali dengan sebelum ada fasilitas komersial seperti saraga, sanggar seni. Kawasan Babakan Siliwangi merupakan Lebak Gede, dahulu kawasan sekitar Babakan Siliwangi adalah cekungan atau curuk. Terdapat sebuah limpasan air yang dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk keperluan sehari hari bisa juga digunakan untuk rekreasi seperti memancing. Terdapat 19 mata air produktif di sekitar Babakan Siliwangi. Dari 19 mata air yang tersedia ada tiga mata air besar yang menjadi sumber mata air utama bagi warga. Sebagian dari mata air dijadikan empang dengan luas sekitar 1 hektare, sebagian lagi dari lahan yang tersisa dimanfaatkan menjadi daerah persawahan, karena sawah dijadikan mina padi oleh beberapa institusi.
Kronologi perkembangan komersialisasi yang ada di Babakan Siliwangi berdasarkan penuturan dari Tomi Darmawan, Ketua Sanggar, menyatakan pada awalnya di tahun 1972 di sekitar kawasan Babakan Siliwangi mulai dibangun bagunan komersial berupa restoran Sunda Djujunan milik Pemerintah Kota. Namun terdapat persoalan manajemen sehingga restoran tersebut bangkrut dan dibiarkan terbengkalai. Setelah itu pada tahun 1982 didirikan bangunan sanggar seni sebagai penunjang dari restoran. Status kepemilikan sanggar ini dimiliki oleh kementrian negara.
Bila dilihat dari sejarahnya, kawasan Babakan Siliwangi sebenarnya memiliki nilai budaya cukup tinggi di Kota Bandung. Berlanjut ke tahun 1992 kawasan Babakan Siliwangi yang sebelumnya terdapat daerah sawah yang cukup luas. Namun dengan adanya usaha komersialisasi lahan yang dilakukan, maka dibuat sarana fasilitas untuk olahraga, atau saat ini lebih dikenal dengan nama Sarana Olahraga Ganesha (Saraga).
Pada tahun 2002, Mubyar Hanif, pemilik PT EGI, merencanakan pembangunan tiga tower apartemen dengan 27 lantai di sekitar daerah Babakan Siliwangi. Rencana pembangunan apartemen tersebut mendapat berbagai respon dari banyak kalangan. Bermunculan tanggapan pro maupun kontra.
Belum selesai isu pembangunan apartemen, muncul lagi isu terbaru yaitu pembangunan pertokoan dengan perencanaan want stop shopping. Untuk menemukan titik temu dalam permasalahan tersebut, maka diadakan pertemuan yang diikuti pemerintah, pakar pakar ilmu pengetahuan, dan pihak PT EGI. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan yaitu kawasan Babakan Siliwangi tidak boleh dibangun menjadi bangunan komersial.
Ditinjau dari perkembangannnya yang pesat menjadikan Kota Bandung sebagai tujuan kota tujuan pariwisata. Dalam hal ini terdapat hambatan untuk mengembangkannya. Kawasan Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau yang berada di pusat kota dengan luas sekitar 3 hektare, menjadikan kawasan ini memiliki lokasi strategis. Sehingga sangat berpotensi untuk menjadi kawasan komersial. Disisi lain Babakan Siliwangi sudah tidak seutuhnya termasuk pada golongan ruang terbuka hijau karena sudah ada pembangunan termasuk bangunan ITB. Namun tetap saja kecil kemungkinan dilakukan pembangunan apartemen di kawasan ini mengingat keputusan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Pembangunan apartemen dianggap menyalahi aturan yang ada karena cenderung akan memberikan dampak negatif bagi Kota Bandung.
Masalah komersialisasi ini sudah banyak menjadi bahan perbincangan oleh berbagai kalangan. Berbagai opini yang telah berkembang di masyarakat mengenai isu ini. Tanggapan mengenai akan didirikan bangunan komersial di kawasan Hutan Kota Babakan Siliwangi dari yang mendukung hingga menolak. Menurut Tomi Darmawan, seharusnnya dalam perencanaan rancangan dari suatu bangungan perlu juga diperhatikan aspek estetika agar terwujud suatu hal yang bermanfaat bagi kehidupan.
Komersialisasi yang terjadi di Babakan Siliwangi disebabkan oleh beberapa hal. Banyak faktor yang menunjang untuk menjadikannya sebagai kawasan komersial. Kurangnnya kesadaran masyarakat akan arti penting dari hutan kota. Hutan kota yang memang mayoritas berupa ruang kosong dianggap masyarakat sebagai lahan yang bepotensi untuk digunakan sebagai keperluan ekonomi. Aspek lain dari hutan kota seperti fungsinya sebagai pendukung kelestarian lingkungan masih kurang diapresiasi masyarakat. Sementara Pemerintah Kota Bandung dalam menetapkan kebijakan terkesan kurang tegas. Dalam Peraturan Daerah (Perda) telah jelas disebutkan bahwa Babakan Siliwangi merupakan ruang terbuka hijau yang tidak boleh dijadikan sebagai tempat komersial. Meskipun begitu, wali kota terdahulu sebagai pihak pemerintah malah memberikan izin kepada PT EGI untuk melakukan pengembangan di bidang komersial. Kebijakan ini tentu saja bertentangan dengan peraturan perundang undangan di atas.
Penanggulangan Komersialisasi Hutan Kota Babakan Siliwangi harus segara dilakukan. Misalnya dengan penetapan peraturan daerah yang jelas untuk perlindungan terhadap kawasan hutan kota. Hal tersebut diharapkan dapat meminimalisir alih fungsi lahan hutan kota serta mampu menyelamatkan laha hutan kota yang dikhawatirkan beralih fungsi menjadi bangunan komersial seperti permukiman maupun fasilitas publik lainnya. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk di Kota Bandung, secara tidak langsung akan berdampak pada usaha peralihan fungsi hutan kota menjadi bangunan komersial. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena kelemahan dari peraturan yang berlaku, sehingga berpotensi terjadi penyimpangan penyimpangan peraturan yang ada.