Lihat ke Halaman Asli

Arogansi Pekerja Medis

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hari ini usia kehamilan istri saya memasuki 30 minggu lebih 4 hari, dan saya bersama istri memeriksakan kandungan kepada seorang dokter di salah satu rumah sakit dibilangan Yogyakarta dan kami berencana untuk melihat kondisi jabang bayi melalui USG. Setelah melakukan registrasi dibagian pendaftaran, lalu istri saya melakukan pemeriksaan rutin, pemeriksaan awal meliputi pemeriksaan berat badan dan tekanan darah, alhamdulillah hasilnya baik. Setelah menunggu beberapa lama diruang tunggu, akhirnya nomor antrian istri sayapun dipanggil oleh perawat. Saya dan istri lalu masuk keruang praktik dokter tersebut. Istri saya langsung disuruh berbaring di atas dipan yang tersedia dan disampingnya tersedia peralatan USG. Seorang perawat langsung memoleskan jell pada perut istri saya, dilanjutkan oleh seorang dokter yang mulai menggerakkan alat tersebut ke beberapa bagian pada perut istri saya. Disana terlihat kondisi jabang bayi dengan posisi kepala dibawah, tangannya sudah mulai bergerak jelas. Tanpa melihatkan jenis kelamin jabang bayi kepada kami, dokter tersebut dengan lantangnya ia mengatakan bahwa jabang bayi kami berjenis kelamin perempuan. Alhamdulillah gumam saya dalam hati, jabang bayipun memiliki berat badan yang cukup. Istri sayapun menanyakan kembali untuk memperjelas tentang jenis kelamin jabang bayi kami, lalu dokter itupun menjawab tanpa ragu “PASTI... ini sudah pasti perempuan”.

Beberapa hari sebelumnya kami berkeinginan untuk melahirkan bayi kami dikampung halaman yang menempuh perjalan pesawat  lebih kurang 2 jam. Lalu keinginan kami inipun kami sampaikan kepada dokter tersebut. Saya menanyakan “bagaimana dok kalau misalkan kami melakukan perjalan melaui pesawat?”, dokterpun menjawab dengan tegas “umur kehamilan anda ini sudah masuk ke-8 bulan, tidak mungkin melakukan perjalanan pesawat”, kenapa dok tanya saya dengan awan karena saya tidak tahu sama sekali tentang dunia kandungan, “ karena tekanan diatas pesawat tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan tersebut, bisa jadi air ketuban akan pecah”. Dengan nada panasaran saya pun bertanya kembali terkait dengan perjalanan pesawat, karena selama ini kami melakukan pemeriksaan alhamdulillah kondisi kehamilan dan istri sayang baik-baik saja. Tanpa membaca rekam medik pada buku pemeriksaan rutin kami dan tanpa menanyakan kondisi istri, saya dokter tersebut dengan nada arogannya menjawab lagi “ya...itu terserah kalian saja.. kalo kalian mau menanggung resiko air ketubannya pecah dan melahirkan dipesawat maskapai tidak mau bertanggung jawab, kalian mau tali pusarnya nanti keluar klewer-klewer? Maskapai tidak akan menerima penerbangan kalian di umur kehamilan ini, dan kemungkinan lahir premature sangat besar”. Percakapan singkat tersebut berakhir dengan suasana kecewa.

Menurut saya seorang dokter yang bijaksana seharusnya dapat memberikan solusi yang lebih baik terkait niat kami untuk melakukan perjalanan untuk pulang kampung dengan kondisi kehamilan 30 minggu. Dokter tersebut memberikan tanggapan yang mengerikan terhadap pertanyaan yang saya ajukan. Dengan tanggapan dokter tersebut membuat shock istri saya, ia mulai kepikiran dan was-was untuk melakukan perjalanan tersebut dengan penjelasan dokter yang tidak ada solusi. Seorang dokter tidak layak mejawab pertanyaan pasiennya dengan arogan, seorang dokter harus memberikan alternatif terbaik dan terburuk tanpa harus menakut-nakuti pasien yang nihil pengetahuan dibidang yang ia geluti.

Merasa tidak puas konsultasi dengan dokter tersebut, kami pun langsung menuju klinik tempat praktik bidan dimana kami melakukan pemeriksaan kandungan rutin. Keluhan dan prasaan kurang puas langsung dilontarkan kepada bidan tersebut. Setelah mendengar keluhan istri saya bidan itupun memberikan tanggapan terkait perjalanan pesawat yang kami niatkan “sebenarnya saya juga tidak bisa membolehkan setelah saya mendengar komentar dokter seperti itu (tanggapan dokter diatas) namun menurut pengalaman saya selama ini bahwa kebanyakan pasien yang saya tangani adalah warga luar kota yang pada usia kehamilan tua merekapun melahirkan dikampung halaman mereka, dan saudara sayapun melakukan perjalanan udara dari kalimantan dan perjalanan tersebut dilakukan pada usia kehamilan pada trisemester terakhir (seperti usia kehamilan istri saya) , tiga anaknyapun dilahirkan di Yogyakarta”. Tidak hanya berhenti disana, si bidan tersebut memberikan tanggapan yang bijaksana menurut saya. Bidan tersebut melanjutkan “kalo memang mbaknya mau melakukan perjalanan udara coba mbaknya konsultasi kepada dokter lain siapa tau ada pendangan lain untuk mencari second opinion (alternatif kedua) ”. Mendengar penjelasan tersebut istri saya merasa agak lega dan terobati rasa cemasnya dari tanggapan dokter yang mengerikan.

Dalam asumsi saya tingkat pendidikan dokter yang tinggi serta telah banyak mempelajari teori, belum tentu ia bisa bertindak bijaksana yang memberikan rasa tenang, nyaman kepada pasiennya. Bahkan seorang bidanpun dapat bertindak dengan bijak, memerikan komentar yang tidak menyakiti dan membuat pasiennya down, walaupun tujuannya sama. Tapi seorang bidan berbicara dengan pengalaman yang selama bertahun-tahun menangani ibu hamil. Tidak seperti seorang dokter yang hanya bergelut dengan banyak materi dan gelar dokternya, sehingga beberapa hal penting sebagai dokter terlupakan. Saya banyak berharap kepada para dokter yang kurang bijak, bijaksanalah dalam memberikan komentar, tanggapan ataupun solusi terkait masalah yang dihadapi pasien agar tidak mengalami trouma dan ketakutan yang berlebihan. Terima kasih!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline