Lihat ke Halaman Asli

Aprilia Dyah Ayu

Kompasianer

576 Ribu = Zona Tengkorak

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Zona bintang, zona tengkorak dan zona nyaman. Ketiga zona inilah yang secara silih berganti mewarnai hidup kita. Konsep mahal ini kutemukan di serangkaian acara XL Future Leader, The Scholarship Camp, 5-8 November.

Zona bintang diduduki oleh 10 pasang siswa/i XL Future Leader terbaik pada setiap sesi sebelumnya. Zona tengkorak tentu sebaliknya. Sedangkan zona nyaman diperuntukkan bagi siswa/i biasa-biasa saja. Di zona nyaman, siswa/i akan ‘lempeng’ hidupnya tanpa ada pujian ataupun penghinaan seperti yang diperoleh mereka yang ada di zona bintang dan zona tengkorak.

Sesi penentuan siapa saja yang ada di masing-masing zona disebut sesi cermin. Di sesi cermin pertama, sekitar pukul 10 malam, aku dan pasti kedelapanpuluhtiga siswa lainnya heran. Kebanyakan nama-nama yang kami lihat aktif sepanjang hari pertama ini ternyata dipanggil ke dalam zona tengkorak. Di antaranya, ada ketua pletonku dan ketua kompi kami. Ketua pletonku menginterupsi pelatih. Ia meminta penjelasan mengapa ia ditempatkan di zona tengkorak. Namun, pelatih menolak. Aku sendiri dipanggil ke dalam zona Bintang.

Situasi menjadi lebih menegangkan, ketika Bapak Cahaya Puthut Wijakarna, pelatih kami dari People Develop People meminta kesepuluh pasang bintang mengguyur para tengkorak. Kami hanya diam. Malam menghening cukup lama hingga beliau mengingatkan dengan nada tinggi, “Tunggu apa lagi?”

Beberapa bintang lalu menyampaikan keberatan dan menawar agar hukuman diperingan.

“Peraturan dibuat bukan untuk ditawar tapi ditaati,” jawab beliau.

“Tapi malam ini dingin, Pak. Saya mengusulkan agar teman-teman tengkorak yang menentukan sendiri hukuman yang pantas bagi mereka.”

“Konsep dari mana itu? Mana ada orang yang salah bisa memilih hukuman mereka. Hukuman adalah yang sesuatu yang bisa membuat mereka jera.”

Para bintang tetap tidak bergeming.

“Justru semakin kalian menunda hukuman, semakin kalian tunda waktu tidur mereka. Kenapa tidak kalian lakukan saja segera? Biarkan mereka kedinginan sebentar lalu hidup akan segera berlanjut kembali,” tambah beliau.

***

Pelatihan ini bukanlah zona nyaman. Ciyus. Namun ini akan menjadi sangat berharga jika dimaknai dengan baik. Demi mengikuti pelatihan ini aku izin dari kuliah selama 4 hari. Beberapa hari sebelum hari H, aku pun menjadi lebih sibuk mengerjakan tugas-tugas 4 hari ke depan. Antara lain, vidio Miu great untuk diajukan ke Pure it, Bab I seminar untuk dikirim ke pembimbing, tugas Rekayasa Lingkungan, tugas Permasalahan Iklim dan Isu Global, tugas Audit Lingkungan. Selain itu, aku juga harus menyambangi kediaman Ir. H Soemarno di Sukadanau Cikarang Barat untuk semacam studi mengenai metode pengolahan air limbah laundry yang dikelola beliau dan Koperasi Sukadanau, mempersiapkan praktikum labling, mengoreksi laporan praktikum, menitipkan praktikan aku kepada aslab lain selama 4 hari ke depan, dan mempersiapkan kado untuk saudara yang menikah. Sedikit tapi tidak bisa dipungkiri, aku menjadi lebih tegang, dan stress sebelum hari H.

Perjalanan Pamulang-Cikarang Barat-Sukadanau-Depok sangat menyita waktu. Begitu juga acara nikahan. Minggu, 4 November, aku berbaur dengan keluarga dari kampung di acara nikahan itu. Namun, aku lupa akan satu amanah dari Teknika. Aku harus menjarkom anak-anak Teknika yang terpilih untuk kaderisasi. Payahnya, aku tidak membawa database nomor mereka. Yang lain hepi aku pusing sendiri. Tapi aku bukan tipe orang yang mudah bilang tidak bisa kepada sang penitip amanah. Akhirnya, enak nggak enak, aku minta tolong temanku, memintanya membuka emailku, mendownload database, dan memforward SMSku ke anak-anak Teknika yang dimaksud.

Aku pamit dari acara nikahan pada pukul 4 sore dan sampai di kosan saat adzan Magrib. Tugas pertama yang kupegang adalah editing vidio MiuGreat. Akhirnya vidio MiuGreat fixed pada tengah malam. Aku pun tidur sampai jam setengah 4 pagi. Lanjut packing barang-barang pelatihan XL Future Leader. Ba’da subuh aku baru membuat tugas Rekayasa Lingkungan sedapatnya karena jam 6 aku harus sudah di Stasiun UI untuk kemudian menuju Cisarua bersama teman-teman. Rempong banget rek.

***

Selama sesi pelatihan XL Future Leader, aku tidak diperkenankan membawa HP. Aku membuka HP di saat istirahat sholat dan ternyata aku masih diminta mengingatkan kembali anak-anak Teknika yang terpilih itu. Aku pun minta izin pada Sersan Mustofa untuk menelpon temanku. Lagi-lagi, kepadanya aku melimpahkan amanah itu.

Sebelum tidur aku lebih leluasa membuka HP. Rabu malam, ada SMS dari Tita, katanya aku lupa attach file tugas di email yang kukirim ke emailnya. Ada juga dari Vincent, katanya aku lupa mengirim file PKM-P kami. Ada satu lagi dari Sekum Teknika, katanya aku akan didenda 576 ribu rupiah karena telat mengirimkan LPJ Teknika. Dendanya 2 ribu per 5 menit. Terlambat 1 x 24 jam, ya sebanyak itu yang harus kubayarkan. What the hell...!

“Ya Allah, itu kan lebih besar dari gajiku sebagai aslab satu semester ini.”

Malam itu mataku layu menatap atap. Aku tidak membawa laptop. Bagaimana aku bisa membuat LPJ? “Kenapa juga nggak kubikin dari sebelum pelatihan..? Hah..!” keluhku. Aku capek. Sekujur badan terasa “njarem”. Aku kembali berniat mengubungi teman SMP atau SMAku untuk lagi-lagi melimpahkan amanahku. Tapi aku malu. Lagipula, di kamar ini, sinyal HPku “muncul-mendelep”. Hah, aku capek. Aku memilih tidur karena malas berpikir lagi.

***

Sepulang aku dari Cisarua, aku menyusul ke Pelatihan Jurnalistik Teknika di kampus.

“Kamu siap-siap didenda ya, Pril!” kata Sekum Teknika.

“Ya Allah...,” jawabku dengan nada memelas. Aku duduk di sampingnya. Aku diam dan mencoba mengobrol dengan hati dalam keheningan.

“Zona tengkorak,” batinku. “Aku lalai dalam amanah, pelupa dan suka menunda-nunda. Makanya sekarang aku di zona tengkorak.”

“Seorang pemimpin justru lebih mungkin untuk masuk ke zona tengkorak. Karena pemimpin, mereka harus siap dengan risiko lebih besar. Pemimpin itu, salah sedikit saja akan berakibat fatal padanya dan pada timnya.” Demikian lembut suara Pak Putut di dalam pikiranku.

Kalau diingat-ingat, memang benar, ada kesalahan yang dilakukan oleh Ketua Kompi kami hari itu. Misalnya, lupa tata cara melapor kepada pelatih. Para tengkorak lainnya juga punya kesalahan-kesalahan kecil yang karena mereka memilih menjadi ketua, kesalahan kecil itu menjadi bernilai besar.

Saat ini, 576 ribu = zona tengkorak. Apa kubayar saja dendanya? Tapiiii..... duitnya??!” Sebenarnya bisa, aku bisa saja menawar pada Sekum Teknika, sang pengampu kebijakan karena ia adalah sahabatku di jurusan, tapi aku malu. “Peraturan dibuat bukan untuk ditawar tapi untuk ditaati.” Aku malu pada Pak Putut. Aku malu pada Sersan Mustofa. Aku malu pada Letkol Royke. Aku malu pada para pelatih. Mereka menampaku selama empat hari, membuat sholat subuhku tempat waktu, membuatku makan lebih cepat, membuat tubuhku lebih sehat, dan memantik semangat nasionalisme kami.

Aku pun berusaha menggusur kalimat, “Ya Allah, itu lebih besar dari gajiku sebagai aslab satu semester ini.” Lalu menggantinya dengan, “Untungnya itu lebih kecil dari beasiswaku sebulan dari XL.” Ya meski hanya beda 24 ribu.

Usai Pelatihan Jurnalistik Teknika, dalam perjalanan menuju Food Court Kutek, ia berkata, “Kayaknya ganti aja deh hukumannya soalnya aku nggak tega juga kalau denda kamu banyak-banyak.”

Gantinya, aku wajib membawa makanan ringan saat rapat.Dengan rasa malu aku bilang iya. Tapi sumpah aku tidak merasa lebih baik. Aku seolah baru saja mengingkari komitmen luhur yang kami bentuk di XL Future Leader Camp. Aku merasa telah mengecewakan Letkol Royke, Pak Putut, dan Sersan Mustofa, ketiga pelatih yang paling berkesan buatku.

***

Aku mengikuti XL Future Leader- The Scholarship Camp pada hari Senin-Kamis, 5-8 November kemarin. Lanjut pada hari Jum’at-Minggu, 9-11 November, aku mengikuti Youth For Climate Camp (YFCC) yang diselenggarakan National Council on Climate Change. Di penguhujung YFCC, aku dan peserta lainnya memperoleh uang transport. Nominalnya cukup besar, cukup untuk transport pulang ke Pati naik bis. Di sisi lain, ini acara pemerintah, artinya uang yang kuterima itu adalah uang rakyat. Akhirnya, aku putuskan untuk memberikan seluruh uang transport itu ke Sekum Teknika. Alhamdulillah, lega juga rasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline