Lihat ke Halaman Asli

Aprilia Dyah Ayu

Kompasianer

Ayo Sholat

Diperbarui: 23 Mei 2019   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

”Isan, ayo main...!” teriak Egha sambil berlari menuju mushola. 

Isan sendiri sedang mencari sendalnya di antara sendal-sendal di depan mushola. 

”Kamu sholat dulu aja, baru kita main!” 

”Enggak, ah!” 

”Nggak boleh begitu, tau!” kata Isan. ”Lihat itu!” lanjutnya sambil menunjuk pada papan bertuliskan Sholatlah Sebelum Kamu Disholati. 

”Maksudnya?” 

”Maksudnya sebelum kamu disholati, kamu harus sholat dulu. Kalau tidak, kamu tidak akan disholati.” 

”Oya? Memang apa enaknya disholati?” 

”Apa ya? Bingung juga sih.” 

”Ya kalau begitu ayo langsung pergi main saja!” 

”Eh, tapi dulu ayahku disholati, lho. Terus Ibu mengajakku pergi bersama orang banyak, katanya mau mengantar ayah ke surga.” 

”Oh, orang yang disholati akan masuk surga?” 

”Iya berarti,” ujar Isan dengan penuh keyakinan. 

”Tapi aku gak bisa sholat.” 

”Aku mau mengajarimu.” 

Mereka lalu pergi ke rumah Isan. Di kamarnya, Isan menunjukkan gambar-gambar gerakan sholat berikut bacaannya yang ditempel di dinding. Melihat itu, Egha cukup takjub dan bersemangat untuk belajar. Setelah itu, kamar Isan dipenuhi bacaan sholat. Meski masih terputus-putus tapi tetap terdengar merdu. Sekitar dua jam kemudian, Egha lelah dan bosan. Lagipula waktu menunjukkan pukul empat sore. Ia pun pamit pulang. 

Sejak itu, sepulang sekolah Egha selalu mampir ke rumah Isan, melanjutkan hafalannya. Sekitar dua minggu kemudian, Egha sudah bisa menghafal sampai bacaan sujud. Akan tetapi, semangat Egha mulai surut karena sudah beberapa hari ini Isan sakit dan tidak dapat membantunya menghafal. 

”Itu buat kamu aja deh! Kamu menghafal di rumah sendiri saja ya!” 

”Ya udah deh!” Egha segera mencopot gambar gerakan sholat itu. 

”Besok kalau aku sudah sembuh, aku bantu menghafal lagi!” 

”Makasih ya! Besok kalau kamu sembuh aku pasti sudah hafal semuanya.” 

Kesokkan harinya, Egha dilarang ibunya pergi ke sekolah. Ibunya justru mengajaknya pergi ke rumah Isan. Sesampainya di sana, Egha bingung melihat rumah Isan dipenuhi banyak orang. Namun, dia tidak melihat di mana Isan. Egha tengak-tengok, mencari-cari di mana sahabat baiknya itu. 

"Ibu, Isan di mana?"

Ibunya lalu menunjuk keranda yang ada di tengah ruangan terhalang orang-orang yang sedang sibuk menggelar tikar. 

"Isan?" Egha bergumam. Perasaannya campur aduk.

"Bapak-bapak, silakan berwudhu. Jenazah sudah siap untuk disholati," kata seseorang.

Tak lama kemudian orang-orang naik ke tikar, merapat. Egha terus memperhatikan. 

”Ibu, Isan mau disholati?” 

"Iya. Kamu jangan berisik ya."

Egha lalu lari mendekati barisan sholat. Ibunya tanpa bisa menangkap tangannya supaya ia tetap diam di tempat. Ia sungguh merasa bangga melihat sahabatnya disholati banyak orang. Ia senang, sahabatnya akan masuk surga. Ia terus memperhatikan orang-orang sholat sampai selesai. Namun ia menjadi bingung kenapa gerakan sholat orang-orang itu tidak seperti apa yang diajarkan Isan kepadanya.  

Setelah orang-orang selesai sholat, ibu Egha mendekat dan menarik tangannya.

“Kamu ini susah sekali diajak diam."

Egha menangis. Ibunya bingung, berpikir apakah tadi terlalu kuat menarik tangan Egha sehingga ia kesakitan.

”Ibu, aku takut Isan tidak diizinkan masuk surga karena gerakan sholat orang-orang itu salah.” 

”Ha? Salah?” 

Ibunya makin bingung.  Egha terus menangis sambil menyebut nama Isan keras-keras.

"Sst, diam! Sudah ya! Tenang saja, Isan akan tetap diizinkan masuk surga."

"Darimana Ibu tau?" tanya Egha sambil masih berurai air mata.

Ibunya makin bingung.


 

eiph

Pati, Juni 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline