Lihat ke Halaman Asli

Nuklir Korea Utara: Ancaman atau Perdamaian?

Diperbarui: 27 Agustus 2024   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peluncur Rudal Antarbenua Korea Utara. (Pinterest.com)

Selayang Pandang 

Konstelasi geopolitik dan militer di semenanjung Korea belakangan ini masih menjadi pembicaraan hangat. Perseteruan dua bangsa Korea yang terpecah oleh ideologi, sulit  kunjung menemui titik kompromi untuk berdamai dikarenakan perbedaan ideologi dan hadirnya persenjataan nuklir di Korea Utara.  Korea Utara merupakan sebuah negara nuklir di semenanjung Korea yang lahir akibat dari perang dingin pasca berakhirnya perang dunia ke-2 pada tahun 1945. Sejarah lahirnya Korea Utara sebagai negara nuklir, dimulai pertama kali melalui kerjasama dalam proyek penelitian nuklir Korea Utara dengan Uni Soviet di tahun 1956. Dalam kerjasama tersebut, Uni Soviet memberikan pelatihan kepada ilmuwan Korea Utara untuk membangun program nuklir mereka secara mandiri. Proses dari program nuklir Korea Utara berjalan secara bertahap dan dipengaruhi oleh faktor geopolitik global dan pertahanan negara.  Salah satu faktor utama dalam lahirnya program nuklir Korea Utara adalah pertahanan negara.  

Setelah semenanjung Korea terbelah menjadi 2 poros ideologi global saat itu, yaitu komunis di utara dan demokratis di selatan. Korea Utara berambisi untuk menyatukan kedua negara tersebut dibawah bendera komunisme pada tahun 1950. Pada tahun tersebut Korea Utara melancarkan agresi militernya terhadap Korea Selatan untuk menyatukan diri. Perang yang berkecamuk di semenanjung Korea yang berlangsung sejak tahun 1950-1953, yang melibatkan Korea Utara, China, Uni Soviet, AS, Inggris dan negara-negara PBB, berlangsung alot dan tidak kunjung selesai. Akhirnya, dengan proses negosiasi diplomatis, Korea Utara dan AS beserta sekutunya sepakat untuk gencatan senjata pada 27 Juli 1953. Pasca perang Korea di tahun 1950-1953, beberapa dokumen perang Amerika diterbitkan pada akhir tahun 1950-an, Korea Utara terkejut mengetahui bahwa AS melalui Jenderal Douglas MacArthur dan Presiden Truman secara serius mempertimbangkan kemungkinan menggunakan senjata nuklir terhadap pasukan Korea Utara untuk menghentikan kemajuan pesat Korea Utara pada fase awal perang dan untuk menghindari perang yang berlarut di kemudian hari.

Pertimbangan penggunaan nuklir terhadap Korea Utara tersebut ditafsirkan bahwa suatu hari Korea Utara bisa menjadi mangsa tak berdaya bagi  kekuatan nuklir AS.  Penafsiran tersebut menjadi salah satu alasan mengapa Korea Utara melakukan manuver diplomatik dengan menandatangani  bantuan pertahanan bersama dengan Uni Soviet dan Tiongkok pada tahun 1961, dengan tujuan untuk memperoleh perlindungan dari kekuatan deterrence nuklir mereka. Namun, tak lama kemudian, Korea Utara harus menghadapi kekecewaan besar dalam hubungannya dengan Uni Soviet. Pada bulan Oktober 1962, krisis rudal Kuba meletus. Setelah itu, persepsi negatif terhadap Uni Soviet mulai berkembang di Pyongyang bahwa Uni Soviet telah meninggalkan Kuba dengan melepaskan instalasi rudal nuklirnya. Pelucutan instalasi rudal nuklir Uni Soviet di Kuba merupakan jalan tengah dari negosiasi alot antara Uni Soviet dan AS yang juga memasang instalasi rudal nuklir di Turki yang berbatasan langsung dengan Uni Soviet.  Dengan hilangnya kepercayaan Korea Utara terhadap Uni Soviet sebagai sekutunya untuk menyediakan kekuatan deterrence nuklir, Korea Utara mau tidak mau harus membangun kekuatan nuklirnya sendiri walau menjadi kontroversi. 


Kekuatan Nuklir Korea Utara dalam Perspektif Mutual Assured Destruction dan Nash Equilibrium

Persenjataan nuklir Korea Utara bisa kita lihat sebagai salah satu faktor signifikan dalam konstelasi keamanan global dan perumusan kebijakan luar negeri AS, terutama ketika dilihat melalui perspektif Mutual Assured Destruction (MAD) dan Nash Equilibrium. MAD adalah doktrin militer yang menyatakan bahwa jika dua atau lebih pihak memiliki kemampuan nuklir yang cukup, serangan nuklir secara penuh oleh satu pihak akan mengakibatkan kehancuran total bagi kedua belah pihak. Doktrin ini bertumpu pada konsep pencegahan atau preemptive, di mana potensi kehancuran total kedua belah pihak mencegah negara-negara nuklir untuk benar-benar menggunakan senjata nuklir mereka. Dalam konteks ini, meskipun persenjataan nuklir Korea Utara tidak sebesar AS atau negara-negara nuklir lainnya, kekuatan nuklir Korea Utara tetap menjadi ancaman signifikan bagi negara-negara tetangganya, seperti Korea Selatan dan Jepang, serta  AS sebagai negara yang memiliki kepentingan regional. Dalam perspektif MAD menyatakan bahwa kemampuan Korea Utara untuk melakukan serangan balasan akan mencegah preemptive dari lawannya, sehingga menghindari konflik nuklir. Namun, efektivitas pencegahan ini sangat bergantung pada keyakinan bahwa Korea Utara bersedia dan mampu melancarkan serangan balasan yang menghancurkan terhadap kemampuan ofensif  musuh-musuhnya.

Sementara itu, Nash Equilibrium dalam konteks konfrontasi nuklir Korea Utara kepada negara-negara rivalnya, Korea Utara mungkin akan terus mempertahankan kemampuan persenjataan nuklirnya, sementara Amerika Serikat dan sekutunya menahan diri dari melakukan serangan preemptive terhadap Korea Utara, karena setiap perubahan strategi salah satu pihak dapat berujung pada hasil yang merugikan semua pihak. Dinamika semenanjung Korea saat ini mencerminkan bentuk Nash Equilibrium, di mana tidak ada pihak yang melihat opsi yang lebih baik daripada mempertahankan status quo yang ada, dengan AS dan sekutunya mengandalkan pencegahan eskalasi konflik melalui sanksi ekonomi dan tekanan diplomatik terhadap Korea Utara, dan Korea Utara mempertahankan kemampuan nuklirnya.

Hubungan antara perspektif MAD dan Nash Equilibrium menunjukkan bahwa selama Korea Utara berpegang teguh dengan perspektif MAD dan semua pihak melihat tidak ada strategi yang lebih baik daripada mempertahankan status quo, stabilitas keamanan di semenanjung Korea yang rapuh dapat terjaga. Namun, stabilitas ini sangat rentan terhadap kemungkinan salah perhitungan atau perilaku irasional, yang dapat mengganggu keseimbangan kekuatan dan memicu kehancuran bersama. Strategi pengembangan dan penggunaan kekuatan nuklir Korea Utara dapat dilihat sebagai upaya untuk mencapai keamanan melalui pencegahan, didasari oleh logika perspektif MAD dan pertimbangan teori  Nash Equilibrium. Meski demikian, stabilitas keamanan kawasan di semenanjung Korea ini sangat rapuh dan bergantung pada pengambilan keputusan yang rasional serta persepsi yang akurat oleh semua pihak yang terlibat dalam ketegangan di semenanjung Korea.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline