Lihat ke Halaman Asli

Ospek, Orientasi berbalut feodalisme

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah menjadi kebiasaan, di institusi pendidikan manapun di Indonesia, ada suatu kegiatan yang bisa dikatakan hampir selalu dilakukan di awal tahun ajaran baru. Ospek. Yap, semacam “seremonial” penyambutan junior-junior baru, atau kita terkadang lebih mengenalnya dengan istilah orientasi maba alias mahasiswa baru. Ospek seakan menjadi momok yang menakutkan bagi para junior, mengingat gambaran umum ospek yang selalu sama dan hampir selalu berulang disetiap tahunnya, beragam kegiatan dan aneka kreatifitas yang aneh, bahkan terkadang tidak manusiawi. Padahal secara harfiah, ospek atau MOS (Masa Orientasi Siswa) seharusnya memiliki arti masa orientasi dan masa pengenalan lingkungan baru, kehidupan akademis yang baru, teman, guru dan senior yang baru, dsb.

Setiap masuk tahun ajaran baru, saya selalu teringat kembali saat-saat orientasi yang dulu pernah saya alami saat masuk ke bangku kuliah. Berbagai macam atribut yang harus disiapkan, mulai dari topi koboi dan kotak makanan dari bahan karton, baju warna ungu, belum lagi aneka pernak-pernik aneh yang untuk memperolehnya saja, saya sampai harus keliling kota padang, kota tempat saya kuliah dulu. Instruksi – instruksi aneh yang sampai sekarang saya tidak bisa mengerti apa maksudnya, apa tujuannya, apa pesan moralnya. Saya masih merasa beruntung karena saya tidak kuliah di kota baru, masih tetap kuliah di kota padang tempat saya menetap selama ini, sehingga saya bisa tahu kemana saya harus mencari barang-barang yang disyaratkan oleh senior untuk dibawa pada saat masa orientasi. Nah, bagaimana dengan rekan-rekan yang baru datang ke kota ini? Yang baru mengenal wilayah ini, yang tidak tahu bahasa daerah yang dipakai penduduk setempat, atau yang bahkan tidak tahu dengan lingkungan sekitar tempat dia tinggal?

Pun begitu juga saat saya jadi panitia ospek. Ada rancangan untuk memarahi, kalau boleh dibilang membentak mahasiswa baru yang datang terlambat, belum lagi dengan berbagai macam ‘seserahan’ yang sengaja dirancang supaya sulit dicari disekitar kampus dan kost-kostan. Yang katakanlah untuk mendapatkan seserahan yang diwajibkan senior, harus dicari ke suatu toko yang letaknya ditempat yang antah berantah, plus disertai label “wajib ada” jika tidak ingin kena sangsi dari senior. Suatu hal yang teramat aneh dan tidak masuk akal. Saat saya mencoba bertanya ke rekan-rekan sesama panitia ataupun juga senior, apa maksudnya menyuruh junior memakai pita warna-warni misalnya, atau apa dasarnya mewajibkan junior memakai kaos terbalik? jawaban yang keluar pun selalu sama. Untuk seru-seruan dan untuk mengajari junior supaya tahu cara menghormati senior. Saya yang saat itu masih tidak begitu paham dengan ini semua hanya bisa mahfum, mungkin memang begitu adanya. Mungkin memang harus seperti ini cara menyambut para junior baru. Tapi setelah melihat dan menjalani kehidupan di luar negri, terutama Jepang, saya jadi merasa itu adalah hal terbodoh dan terkonyol yang pernah kita lakukan dimasa silam. Mirip dengan sistem feodal yang diterapkan kompeni yang pernah menjajah Indonesia. Apa gunanya mengadakan ospek dengan mewajibkan pemakaian atribut-atribut aneh yang membuat junior terlihat seperti gelandangan dan tuna wisma?? Tidak ada. Dan hei, ini adalah dunia akademis, dunia dimana seharusnya semua dilakukan sesuai kaidah nilai-nilai akademis. Semua yang dilakukan harus ada makna dan nilai positif yang bisa diambil.  Belum lagi mengenai adegan “marah-marahan” senior ke junior, menyuruh junior push-up jika telat atau salah melakukan instruksi, membentak junior jika junior melakukan kesalahan yang sebenarnya wajar untuk ukuran orang baru. Bahkan menyuruh junior menghitung jumlah daun yang ada di pohon depan kampus?? hanya gara-gara tidak melihat dan tidak menyapa senior yang ada didepannya. Gimana junior bisa tahu kalau itu senior, sedangkan senior itu sendiri saja tidak menyapa dan bahkan tidak memakai atribut kampus yang bisa dikenali. Tidak ada hikmah yang bisa diambil. Banyak yang bilang itu semua supaya junior mengenal dan menghargai senior. Yang ada malah di depan senior, junior akan memperlihatkan wajah senyum dibalik ketakutan atau dendam, sehingga akan melahirkan generasi penerus yang “penjilat”, melakukan semuanya dengan metode ABS (Asal Bapak Senang). Bukan generasi penerus yang kreatif dan inovatif. Senior merasa menjadi raja kecil, bisa memarahi junior walau tanpa manusiawi sekalipun. Dan akhirnya ini akan membentuk watak dan karakter sadistis, dendam, dan hal seperti ini pasti akan berulang ke junior baru yang akan masuk di tahun berikutnya.

Hal yang serupa saya coba tanyakan kepada para mahasiswa kedokteran di jepang, khususnya di Jichi medical university (JMU), tempat saya studi program doktor (PhD) saat ini, tentang bagaimana cara mereka melakukan “ospek” ke junior baru. Disini, semua mahasiswa mulai dari tahun 1 sampai tahun 6 tinggal di dormitory/apartemen yang sama. Semua junior yang baru masuk dibagi menjadi 10 kelompok kecil, dan masing-masing kelompok memiliki senior pendamping. Senior pendamping ini wajib memberitahu dan mengajari junior tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan di kampus, bagaimana cara belajar bersama, apa-apa saja makanan daerah lokal yang tersedia, apa saja fasilitas yang ada di kampus dan sekitar kampus. Senior bahkan sering mengajak junior makan siang/malam bersama-sama. Dengan cara seperti ini, akan tercipta hubungan yang baik antara junior dengan senior. Junior akan menghormati senior, pun demikian juga dengan senior yang akan mengayomi junior. Begitulah seharusnya yang dilakukan saat masa orientasi siswa baru.  Ospek sebenarnya adalah sebuah masa orientasi, masa pengenalan. Pengenalan seseorang di lingkungan yang benar-benar baru, yang bahkan masing bingung dengan kanan dan kiri, dengan depan dan belakang. Seseorang yang butuh orang lain yang telah dulu lebih paham dan mengerti dunia baru yang akan dia masuki itu seperti apa.

Mungkin membaca tulisan ini, banyak yang akan beranggapan kalau saya terlalu idealis, atau mungkin munafik? Memang kita semua, termasuk saya sendiri pernah menjadi junior dan mahasiswa baru yang mengalami ospek, dan bahkan juga jadi senior dan panitia ospek. Tapi jujur, ospek dengan cara yang tidak wajar tersebut tidak ada gunanya. Sudah bukan saatnya lagi melakukan ospek berlabel orientasi mahasiswa baru dengan kekerasan dan cara yang tidak layak. Masih banyak cara lain yang lebih sopan, bermartabat, dan tentunya manusiawi. Bukan dengan cara seru-seruan aneh, yang tidak ada hikmahnya, yang memaksa para junior berpakaian tak ubahnya gelandangan di tepi jalan. Memang tak bisa dipungkiri itu adalah kesalahan yang marilah kita anggap sudah berlalu. Jikalau ospek masa lalu dianggap sebagai sebuak kediktatoran dan kental dengan  unsur senioritas, maka itu adalah kesalahan masa lampau yang harus diperbaiki, bukan untuk diwariskan. Disaat negara lain berlomba melakukan penelitian sampai ke batas nano cell, kita masih terbelenggu dengan masalah santet dan perdukunan. Jangan sampai untuk masalah orientasi seperti ini, kita masih terperangkap dengan cara feodalisme yang sudah banyak ditinggalkan negara lain. Saya tidak mau mencoba menggurui, tapi marilah kita semua berubah ke arah yang lebih baik. Semoga kedepan kita bisa menciptakan suasana belajar dan akademis yang baik antara junior dengan senior. Demi Indonesia yang lebih baik.

Eijiro Sugiyama Edison, MD

Division of Cardiovascular Medicine

Jichi Medical University, Japan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline