Lihat ke Halaman Asli

e-KTP: Teknologi yang Dapat Menjadi Bencana

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13679782561361445608

[caption id="attachment_259710" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Baru dikeluarkan surat edaran yang melarang institusi untuk fotokopi e-KTP. Semua institusi harus membeli perangkat reader untuk verifikasi identitas seseorang. Jelas, kegagalan penerapan teknologi e-KTP mulai terkuak. Setelah pemerintah mengeluarkan uang triliunan rupiah untuk pelaksanaan e-KTP, sekarang institusi pemerintah dan swasta harus mengeluarkan lagi uang yang jumlahnya dapat lebih besar dari yang dikelurkan oleh pemerintah sebelumnya.

Ada beberapa kejanggalan yang jelas terlihat pada pemilihan dan penerapan teknologi pada e-KTP, yaitu seperti diuraikan sebagai berikut. Pertama, e-KTP diperuntukan untuk semua golongan masyarakat, dari Sabang sampai Merauke. Tidak semua orang memiliki dompet atau tempat khusus untuk menempatkan e-KTP dengan aman. Ini penting karena pada e-KTP tertanam rangkain elektronika berisikan chip dan antena, e-KTP tidak boleh bengkok, patah, bolong atau terpotong. Apa yang terjadi jika e-KTP rusak? Selama ini jenis kartu ini sudah banyak digunakan oleh bank. Institusi bank memiliki sumber daya manusia yang dapat diandalkan 24 jam dalam membantu konsumennya. Akan beda situasinya jika ini terjadi pada masyarakat di daerah dengan kemampuan sumber daya manusia pemerintah daerah dan perangkat yang terbatas. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Kondisi ini dapat menimbulkan situasi katastropik.

Kedua, Pemerintah mengharuskan institusi-institusi swasta dan pemerintah yang berhubungan dengan masyarakat memiliki perangkat reader karena e-KTP akan rusak bila sering di-fotokopi. Ketidak handalan e-KTP akan mengakibatkan semua institusi harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit bahkan dapat lebih besar dari biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah sebelumnya. Ada beberapa teknologi alternatif sebagai pengganti mesin fotokopi, salah satunya adalah kamera. Pengambilan gambar oleh kamera tidak akan merusak e-KTP tetapi tetap institusi harus mengeluarkan biaya untuk pengadaan perangkat yang tidak kecil.

Sebenarnya masalah e-KTP bukan pada mesin fotokopi. Kelebihan dari konsep e-KTP yang ditawarkan sebenarnya adalah setiap warga negara Indonesia hanya memiliki satu identitas. Memang konsep e-KTP memerlukan perangkat untuk verifikasi ID seseorang. Metode verifikasi ID dapat dilakukan dengan dua cara: online dan offline. Dengan metode online, petugas akan memasukkan no ID ke website e-KTP dan selanjutnya website akan memberikan respon berupa foto dan data ID lainnya untuk verifikasi ID. Metode online akan menjadi kendala jika diterapkan di Indonesia karena keandalan koneksi Internet yang masih rendah. E-KTP di Indonesia memilih metode offline, yaitu semua data berada di dalam chip e-KTP. Konsep e-KTP dengan metode offline dapat berjalan jika semua institusi baik pemerintah maupun swasta memiliki perangkat reader dengan harga yang lumayan. Perangkat reader akan membaca data ID dari chip e-KTP dengan antena (contactless) dan menampilkannya di layar komputer sehingga petugas dapat menocokkannya dengan data di lapangan. Jika e-KTP rusak maka proses verifikasi offline tidak dapat berjalan sehingga konsep e-KTP tidak ada gunanya. Konsep e-KTP juga tidak ada gunanya jika institusi-institusi di Indonesia selalu main fotokopi. Jadi syarat dari konsep e-KTP adalah setiap institusi di Indonesia harus memiliki perangkat reader yang kalau dihitung nilainya dapat berlipat-lipat dari yang sudah dikelurkan oleh pemerintah sebelumnya

Jelas terlihat, pihak yang paling diuntungkan adalah vendor kartu dan perangkat reader. Sayang pemerintah tidak melibatkan universitas dan industri. Seharusnya konsep e-KTP dirancang khusus untuk kondisi di Indonesia untuk menghasilkan sistem yang paling handal dan ekonomis. Selain itu, pemerintah seharusnya mendorong universitas dan industri untuk memproduksi sendiri kartu ID dan perangkat reader. Sehingga Indonesia dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri sekaligus membangun industri kartu ID dan perangkat reader untuk komoditi ekspor.

Teknologi kartu (kartu ID, smart card, contactless card) saat ini sedang berkembang sangat pesat di dunia. Dalam waktu lima tahun lagi, teknologi kartu ID yang saat ini digunakan untuk e-KTP mungkin sudah usang. Saat ini juga sedang berkembang e-Wallet, dimana KTP, Kartu ATM, Kartu Kredit, semua disimpan pada handphone dengan teknologi near field communication (NFC). Penulis juga melakukan riset dalam transaksi mobile menggunakan contactless card dan NFC di School of Electrical Engineering & Informatics, Institut Teknologi Bandung. Kami sudah banyak menghasilkan produk dalam teknologi e-Wallet. Dengan mendorong universitas dan industri untuk mengembangkan konsep e-KTP, industri kartu ID dan perangkat reader, kita secara mandari sebenarnya dapat merancang konsep e-KTP yang handal dan ekonomis untuk diterapkan di Indonesia, mengembangkan industri kartu ID dan perangkat reader untuk kebutuhan domestik dengan skala besar. Dampaknya adalah Indonesia memiliki keunggulan dalam teknologi kartu dan perangkat reader-nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline