Namaku Didin Rohaedin. Aku hidup pada suatu zaman yang kian mendekati waktu maghrib tapi kebanyakan manusia semakin jauh dari Allah Swt. Mereka lebih tertarik kepada dunia yang sudah jelas-jelas hanya sementara dan melupakan akhirat yang kekal dan selama-lamanya. Aku hidup pada zaman ketika manusia-manusia kehilangan orientasi dalam hidupnya. Mereka pintar dan pandai, tapi anehnya mereka nyaris tak bisa membedakan mana yang harus lebih dahulu diprioritaskan. Duniakah atau akhirat.
Aku dilahirkan pada suatu zaman ketika harta benda menjadi berhala yang disembah-sembah siang dan malam. Semua manusia, dari kalangan manapun, suku manapun, profesi apapun dan tinggal di manapun memiliki cita-cita yang hampir seragam, yaitu menjadi kaya. Tak peduli siapun ia, pencuri atau petani. Santri atau kiai. Menjadi kaya adalah harapan mutlak banyak orang, walaupun mereka tak punya keberanian nyali untuk secara terang-terangan mengakuinya.
Aku habiskan hari bersama orang-orang gila. Gila harta, gila uang, gila kehormatan, gila kedudukan, gila kenikmatan, gila kemewahan dan gila dunia. Di zaman ketika aku hidup ini, harta yang melimpah jauh lebih menarik ketimbang Tuhan. Tapi tentu saja hal ini mereka poles sedemikian rupa sehingga tak terlalu nampak bahwa mereka itu orang gila.
Ini adalah zaman terbalik. Manusia yang hidup di zaman ini adalah manusia terbalik. Terbalik cara pandangnya, terbalik cita-cita hidupnya, terbalik segala halnya. Mereka caci orang baik dan mereka puji orang jahat. Mereka tak lagi mengorbankan dunia untuk akhirat, tapi mereka korbankan akhirat demi dunia.
Manusia yang hidup di zamanku ini hanya memiliki tiga cita-cita: menjadi kaya, menjadi kaya dan menjadi kaya. Seluruh gerak dan langkah hidupnya hanya diusahakan dan ditujukan untuk mengejar cita-citanya itu. Kalau sekolah, maka tujuannya itu bukan lagi mencari ilmu dan meraih ridha Ilahi, tapi supaya pandai, supaya terampil, supaya mudah mencari pekerjaan yang enak, bergaji besar dan mudah mengumpulkan kekayaan. Sehingga tak jadi soal kalau karena sekolahnya itu mereka harus meninggalkan shalat, berani menyontek [atau dikasih contekan] saat UN, menyuap nilai, dan ujung-ujungnya membeli skripsi pada joki yang punya kerja sampingan sebagai dosen.
Manusia yang hidup di zamanku ini adalah manusia mabuk. Mabuk harta, mabuk uang, mabuk jabatan, mabuk kehormatan, mabuk ketenaran, mabuk pujian, mabuk dunia. Tukang becaknya adalah tukang becak yang mabuk, Petaninya adalah petani mabuk. Camatnya camat yang mabuk, Gurunya adalah guru yang mabuk, mahasiwanya adalah mahasiswa mabuk, dosennya pun dosen yang mabuk. Bahkan, maaf, ulamanya pun ulama mabuk. Untuk yang terakhir kusebutkan ini, mohon jangan keras-keras membacanya. Tapi sekali lagi, hal ini pun mereka kemas sedimikian rupa sehingga tak terlalu kentara bahwa mereka orang mabuk.
Aku hidup di suatu zaman ketika para orang tua marah luar biasa bila anak laki-lakinya yang mulai tumbuh besar malas bekerja mencari uang. Tapi mereka tak pernah marah bila anaknya itu malas melaksanakan shalat yang lima waktu. Di zamanku ini, Orang tua lebih memilih punya anak yang kaya raya walaupun tak pernah shalat daripada punya anak yang rajin shalat tapi melarat berkarat-karat. Keshalihan adalah sesuatu yang paling tidak berharga. Zuhud adalah sesuatu yang dicela. Memakmurkan masjid itu perbuatan sia-sia.
Aku hidup di suatu zaman ketika janji-janji Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam empat belas abad yang lalu satu persatu terbukti menjadi kenyataan. Ulama-ulamanya rakus seperti Qarun dan Haman tapi dengan PeDe-nya merasa diri seperti Nabi Sulaiman.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H