Sejak sosialisasi mekanisme baru pembelian BBM bersubsidi dengan aplikasi MyPertamina, publik heboh menunjukkan ketidaksepakatannya. Kebijakan ini dinilai mempersulit rakyat untuk memperoleh BBM murah yakni Pertalite dan Solar yang selama ini dijadikan tumpuan masyarakat kecil.
Belum lama setelah diluncurkan, aplikasi MyPertamina mendapat rating rendah, yakni 1,3 dari 5. Ribuan warganet meninggalkan berbagai ulasan negative. Rata-rata mengaku kesulitan saat menggunakan aplikasi tersebut (Kompas.com).
Di saat yang sama, akses terhadap pertamax masih dipermudah. Haruskah rakyat cilik banting setir ke Pertamax yang harganya lebih mahal? Tidak heran jika akhirnya banyak yang mencurigai kebijakan ini menjadi awal penghapusan Pertalite, sebagaimana Premium yang telah menghilang beberapa waktu lalu.
Alasan Pemerintah
Pemerintah berkali-kali menegaskan bahwa BBM bersubsidi harus tepat sasaran. Dilansir dari bisnis.com, Direktur BBM BPH Migas Patuan Alfon Simanjuntak mengatakan petunjuk teknis anyar itu diperlukan untuk memastikan konsumsi BBM bersubsidi tepat sasaran di tengah masyarakat. Alasannya, tren konsumsi BBM bersubsidi belakangan meningkat drastis di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional dan disparitas harga yang cukup lebar dengan BBM non-subsidi.
Lebih lanjut, pemerintah juga berdalih kebijakan ini bertujuan untuk menjaga ketahanan APBN di tengah tekanan harga minyak mentah dunia yang masih fluktuatif di pertengahan tahun ini. Menkeu Sri Mulyani memaparkan bahwa dalam APBN 2022, pemerintah memang menambah alokasi subsidi pada BBM dan LPG, yaitu total Rp401,8 triliun. Dengan demikian, pemerintah berkesimpulan bahwa konsumen BBM bersubsidi harus diperketat sasarannya.
Bukan Sekadar Masalah Aplikasi
Seorang ahli ekonom, Muhammad Hatta, dalam sebuah forum diskusi menyampaikan bahwa sesungguhnya permasalahan mendasar yang kita hadapi bukan sekadar penggunaan aplikasi agar BBM tepat sasaran. Permasalahan utama yang sebenarnya mengancam kita adalah adanya liberalisasi migas yang semakin menggila di negeri ini.
Fahmy Radhy, pengamat ekonomi dan energi UGM, menyatakan dalam tulisannya bahwa salah satu akar masalah pengelolaan migas kita adalah tergerusnya kewenangan negara dalam pengelolaan ladang minyak yang selama ini dikuasai Perusahaan Asing.
Tidak hanya sektor hulu saja, secara pelan tetapi pasti pengusahaan di sektor hilir pun juga terancam dikuasai oleh Perusahaan Asing. Dominasi perusahaan asing yang menguasai ladang migas di Indonesia menyebabkan negara cenderung kehilangan kontrol dalam pengelolaan migas.