Lihat ke Halaman Asli

Perkara Kritik "King of Lip Service": Demokrasi Terdegradasi atau Terlucuti?

Diperbarui: 2 Juli 2021   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemelut kritik BEM UI terhadap Presiden Joko Widodo sebagai 'King of Lip Service' memasuki babak baru. Seusai mengalami pemanggilan hingga peretasan, BEM UI mendapatkan dukungan solidaritas dari Bem SI (Seluruh Indonesia). Bentuk dukungan ini adalah ancaman turun ke jalan. BEM SI menyatakan bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami degradasi demokrasi yang nyata. Pasalnya, rezim saat ini begitu getol melakukan 'pembungkaman' terhadap berbagai jenis kritik yang dilayangkan masyarakat, termasuk mahasiswa. Kasus terbaru, yakni pemanggilan rektorat atas BEM UI pasca unggahan kritiknya, menjadi salah satu fakta yang menunjukkan secara nyata bahwa demokrasi di negeri ini telah terdegradasi, begitu tutur Wahyu Suryono, koordinator BEM SI.

Demokrasi Terdegradasi

Narasi 'demokrasi terdegradasi' bukan hanya muncul pada kasus terakhir ini. Narasi ini mencuat seiring maraknya represifitas rezim terhadap berbagai aksi kritik terhadap rezim. Pembungkaman berupa kriminalisasi, propaganda serangan balik, hingga pemanggilan atas pihak yang mengkritik terpapar jelas sehingga siapapun dapat menilai bahwa hak berbicara (dalam rangka mengkritik rezim) telah terdegradasi.

Sebelum kasus pemanggilan BEM UI atas kritiknya melalui media sosial, berbagai fakta pembungkaman terhadap pengkritik rezim telah terjadi. Baru saja HRS, ulama yang aktif melontarkan kritik terhadap rezim, mendapatkan vonis empat tahun penjara atas kasusnya. Sebelumnya, pada beberapa aksi mahasiswa, terjadi tindak represif bahkan kekerasan oleh aparat. Tidak sedikit mahasiswa menjadi korban luka bahkan meninggal dunia dalam berbagai aksi mahasiswa tersebut. Begitu juga dengan beberapa ormas Islam seperti FPI dan HTI yang secara semena-mena menerima 'kartu merah' dari pemerintah tanpa proses hukum yang layak atas tuduhan anti-Pancasila dan anti-NKRI. Berbagai fakta tadi serta fakta lain semakin meyakinkan banyak pihak bahwa demokrasi di negeri ini hanya terlihat kala pemungutan suara kala pemilu semata. Sedangkan dalam pengambilan kebijakan, suara rakyat dikesampingkan bahkan dibungkam.

Namun demikian, ada pertanyaan menarik. Apakah fakta 'pembungkaman' di atas merupakan bentuk demokrasi yang terdegradasi atau justru demokrasi yang 'terlucuti'? Apakah demokrasi hari ini sudah dirusak atau sebenarnya demokrasi itu sendiri yang memang rusak?

Hakikat Demokrasi 

Secara umum kita memahami demokrasi sebagai keterbukaan bagi rakyat untuk mengeluarkan aspirasinya dengan asumsi bahwa setiap individu berhak menyampaikan ide dan pemikirannya secara bebas dan bertanggungjawab. Semangat demokrasi adalah semangat mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Semangat ini muncul ketika masyarakat Eropa di masa lalu menemukan jalan tengah (kompromi) dari konflik antara kaum agamawan dan pemikir di mana ditemukan kesimpulan berupa pemisahan antara agama dan politik. Pemisahan ini meniscayakan kedaulatan atau kewenangan tertinggi membuat peraturan hidup sepenuhnya diberikan kepada kehendak manusia (rakyat) melalui para wakilnya di parlemen. Artinya peran Tuhan dalam pengaturan politik dinolkan, diganti oleh peran akal manusia.

Demokrasi ditengarai sebagai sistem pemerintahan dengan cita-cita 'kedaulatan di tangan rakyat' atau dengan kata lain rakyatlah yang menentukan sendiri aturan terbaik baginya melalui suara para wakilnya yang dipilih sendiri oleh rakyat. Sayangnya faktanya tidak semanis demikian. Seringkali kebijakan yang dikeluarkan dalam mekanisme demokrasi justru tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Tak sedikit yang akhirnya menguntungkan sekelompok orang, pemilik modal (kapitalis) misalnya. Hal inilah yang menurut Ahmad Khozinudin, seorang pakar hukum, sebagai fakta demokrasi sebagai alat bagi oligarki politik.

Hipokritnya semboyan 'kedaulatan di tangan rakyat' bukan terjadi secara kebetulan. Dilepaskannya peran Tuhan hingga pemberian kekuasaan sebesar-besarnya kepada manusia untuk menentukan aturan hidupnya sendiri menjadi awal kerusakan sistem ini. Manusia sejatinya makhluk yang lemah dan tidak benar-benar memahami aturan terbaik untuk mengatur dunia. Ia memang dianugerahi akal oleh Tuhan, tetapi akalnya hanya terbatas pada analisis terhadap fakta-fakta yang ia indra, yang mana sifatnya sangat terbatas. Memberikan hak penuh bagi manusia untuk mendesain aturan hidup semata dengan akalnya adalah bunuh diri massal umat manusia. Bagaikan menyerahkan sesuatu kepada pihak yang bukan ahlinya.

Di samping itu, masing-masing manusia (termasuk para wakil yang ada di pemerintahan) memiliki kepentingan individu, bahkan tak sedikit yang membawa kepentingan partai/kelompoknya. Kecenderungan ini bersifat alamiah mengingat manusia secara naluriah memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dan mengangkat eksistensi dirinya maupun kelompoknya. Naluri semacam ini ketika tidak dibimbing oleh wahyu akan bergerak secara liar hingga mengarah pada sikap rakus, tamak dan haus akan kekuasaan. Terlebih ketika kekuasaan itu mendatangkan manfaat yang banyak yakni kenikmatan duniawi, makinlah menjadi-jadi naluri ini.

Dalam perjalanannya, dalam peradaban yang mensakralkan akal manusia ini, kehidupan manusia akhirnya tidak berbeda jauh dari kehidupan rimba. Yang kuat ialah yang menang. Mereka yang memiliki modal sejak awal jelas menjadi pihak yang diuntungkan secara politik maupun ekonomi. Walhasil, demokrasi beririsan dengan kapitalisme dimana kaum kapitallah yang memiliki akses terbesar dalam menentukan kebijakan di tengah masyarakat. Jadilah 'kedaulatan di tangan rakyat' hanyalah mitos, faktanya 'kedaulatan di tangan kapitalis'.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline