Lihat ke Halaman Asli

Egi Sukma Baihaki

Blogger|Aktivis|Peneliti|Penulis

Bisikan dan Gangguan Pikiran: Layakkah Bisikan Selalu Menjadi Alasan Bertindak?

Diperbarui: 26 Maret 2021   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber Gambar: canva.com

"Manusia adalah hewan yang berpikir." Begitulah ungkapan yang kerap kali diucapkan untuk membedakan manusia dengan makluk ciptahan Tuhan lainnya. Secara anatomi, manusia diberikan perangkat yang dapat menunjang dan dipergunakan untuk kehidupannya. 

Manusia pun dilengkapi dengan perangkat berpikir berupa otak dan akal untuk menentukan baik dan buruk. Untuk mengimbanginya, manusia juga diberikan perangkat rasa berupa hati nurani untuk merasakan sesuatu dan membuatnya memiliki sisi kepekaan.

".....aku mendapatkan bisikan untuk menghabisi nyawanya..."

".....penyakit atau santet yang kamu alami bisa disembuhkan dengan cara bersetubuh.."

Dua ungkapan di atas mungkin saja pernah kita dengar dalam beragam peristiwa yang terjadi di masyarakat. Mungkin saja, ada sebagian orang yang pernah mengalaminya di kehidupan nyata selama ini. Secara nalar, rasanya sulit untuk memahami dan menerima bahwa penyakit bisa disembuhkan dengan melakukan persetubuhan dengan orang yang dianggap pintar itu. 

Apakah nafsu bisa menjadi obat untuk penyakit? Tidak mungkin juga dengan alasan mendapatkan bisikan, bisa membuat seseorang menjadi gelap mata dan dengan entengnya membunuh dan menghabisi nyawa orang lain. Meski demikian, faktanya, kita kerap kali menyaksikan bahwa alasan-alasan ini kerap diungkapkan para pelaku saat mereka sudah berhadapan dengan hukum.

Lantas, benarkah bisikan bisa membuat seseorang melakukan tindakan tidak terpuji dan mengerikan seperti yang selama ini dianggap kerap terjadi? Hemat saya, jika kondisi kejiwaan seseorang dalam kondisi baik, mampu berpikir dan menggunakan akal sehatnya, serta masih memiliki rasa di hatinya, tindakan atau perbuatan tidak terpuji meski mendapatkan bisikan untuk melakukannya, tidak mungkin dilakukan.

Kejernihan berpikir dan kejiwaan seseorang perlu dipertanyakan jika ia melakukan tindaknnya hanya berdasarkan bisikan yang tidak jelas asal-usulnya, tidak jelas sumbernya, tidak jelas siapa yang membisikinya. Bisa jadi, yang ia anggap bisikan bukanlah bisikan, melainkan halusinasi akibat kejiwaannya yang terganggu atau hanya sekadar alasan belaka.

Secara kultural, masyarakat kita masih memercayai tradisi atau unsur-unsur mistis yang bagi kalangan rasional dianggap sebagai klenik. Masyarakat membahasakan "bisikan" dengan sebutan "wangsit" atau petunjuk berupa hasil mimpi atau bisikan yang ia peroleh saat melakukan ritual seperti semadi atau bertapa.

Pembahasan bisikan, jika dihubungan dalam konteks agama sebenarnya memang ada. Dalam bahasa agama, bisikan disebut sebagai ilham. Selain ilham, ada istilah wahyu yang tingkatannya lebih tinggi dari ilham.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline