Masa remaja bagi sebagian orang merupakan masa yang penting dan penuh arti. Pada masa ini, banyak cerita yang pernah dilakukan banyak orang, apalagi pada masa-masa putih abu-abu. SMA merupakan momentum yang biasanya dikenang, karena disitulah mulai adanya peralihan sikap dari yang sebelumnya kekanak-kanakkan menjadi lebih sedikit dewasa.
Namun, pada masa pubertas di SMA, remaja sangat rentan mendapatkan pengaruh yang tidak baik. Ada ancaman pergaulan bebas dan narkoba yang membayang-bayangi mereka setiap saat.
Cukup banyak kasus yang menimpa remaja kita, seperti tingginya perbuatan seks bebas, pengguna narkoba, pemerkosaan, perundungan, tawuran, pernikahan di usia muda, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi, penelantaran atau pembunuhan bayi hingga kematian ibu saat melahirkan.
Terkait dengan persoalan cinta, masa putih abu-abu biasanya menjadi masa saat cinta itu tumbuh. Sayangnya, cinta itu sendiri kerap disalah artikan dengan tindakan seks bebas yang tidak sedikit berakhir dengan KTD.
Meski pengetahuan agama telah dimiliki para remaja dan orangtua telah mengajarkan nilai-nilai atau norma dengan sebaik mungkin, ditambah pendidikan seksual yang diajarkan di lingkungan pendidikan, tidak ada yang bisa menjamin bahwa saat dua sejoli sedang asyik berduaan mereka akan terhindar dari pergaulan bebas.
Belum ada solusi yang manjur dan dapat menjamin remaja terhindar dari melakukan seks bebas dan mengalami risiko KTD. Meski orangtua memperlakukan mereka dengan aturan yang ketat, kadang justru kondisi itu akan berdampak buruk bagi anak-anak.
Bagaikan singa yang selama ini terkesan jinak di kandang, mereka justru memiliki potensi ia akan menjadi buas saat mengetahui dunia luar dan ingin mencoba membuktikan keingintahuannya.
Pendidikan seksual yang diberikan, bisa jadi mampu untuk menekan terjadinya perbuatan seks bebas. Tapi tidak dipungkiri, semakin banyak pengetahuan yang didapat, biasanya akan menjadi alasan bagi seseorang untuk melihat celah mana yang bisa ia jadikan sebagai argumen untuk melakukan sesuatu.
Semua pasti berharap agar anggota keluarganya tidak ada yang mengalami KTD. Karena itu, kekhawatiran para orangtua terhadap anaknya saat diketahui berpacaran dan memberikan wanti-wanti atau peringatan agar tidak melakukan perbuatan seks bebas bisa beralasan. Anak-anak pun harus memahami betul kekhawatiran para orangtua.
Jika insiden KTD terjadi, wanita kerap menjadi korban---merasa tersudut, malu dan merasa bersalah. Jika laki-laki masih bisa menikmati hidupnya dengan baik, wanita "terpaksa" harus menerima risiko tidak bisa menikmati masa muda atau remajanya. Keluar atau dikeluarkan dari lembaga pendidikan, mendapatkan tekanan mental dari lingkungan sekitar, belum lagi harus bayi yang berada di kandungan.