Puasa kerap dimaknai dengan definisi awalnya saja yaitu al-Imsak (menahan). Dari definisi ini kemudian dikembangkan bahwa puasa adalah aktivitas menahan makan dan minum dari sejak fajar sidiq hingga terbenamnya matahari.
Ada juga yang mendefinisikan bahwa puasa adalah aktivitas yang menghindari segala sesuatu yang dapat membatalkannya.
Sebagai bagian dari rukun Islam, puasa memang memiliki peran sentral khususnya puasa ramadan yang dalam sebulan penuh dilakukan berserta ibadah-ibadah lain yang memang dianjurkan untuk diperbanyak selama ramadan.
Ada pahala yang berlimpah yang Allah berikan bagi mereka yang mampu mengisi dan memanfaatkan momentum ramadan dengan sebaik mungkin.
Rasa lapar dan haus dengan sekuat tenaga kita tahan dari pagi hingga sore hari. Dengan kesibukan dan kondisi cuaca yang terkadang panas menyengat, memberikan tantangan tersendiri bagi orang yang berpuasa.
Sebegitu kuatnya kita berusaha menahan diri, nyatanya masih ada sisi lain yang acap kali terlupa dan kita sepelekan. Sesuatu yang kita sepelekan itu, ternyata sangat berbahaya bagi orang yang berpuasa. Bahaya karena jika dilakukan, sirnalah pahala puasa kita.
Jika kita menilik beberapa kitab fiqih yang hanya menghukumi sesuatu yang bersifat lahir maka akan kita dapati beberapa hal yang jelas-jelas dapat membatalkan puasa.
Dalam Matan Taqrib, Abi Syuja menyatakan bahwa beberapa tindakan yang dapat membatalkan puasa itu ada sepuluh yaitu: memasukkan sesuatu dengan sengaja ke dalam perut atau kepala, menyuntikkan sesuatu pada kelamin atau anus, muntah dengan sengaja, berhubungan intim secara sengaja di kemaluan wanita, keluar mani karena sentuhan secara langsung, haid, nifas, gila dan murtad.
Namun, ada sisi lain yang kerap kita lupakan. Padahal, Rasulullah sendiri telah mengisyaratkan melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah bahwa banyak orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan haus dan lapar.
Sisi lain itu adalah sisi batin. Karena berpuasa sejatinya tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tapi puasa adalah upaya menahan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak. Merusak keabsahan puasa itu sendiri dan merusak pahalanya.
Puasa sebagai perisai pembenteng diri dari hawa nafsu. Puasa membentengi manusia dari tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan tidak bermanfaat.