Lihat ke Halaman Asli

Egi Sukma Baihaki

Blogger|Aktivis|Peneliti|Penulis

Harmonisasi Ulama dan Cendikiawan dalam Bingkai Keberagaman Bangsa

Diperbarui: 18 November 2017   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto bersama Ketua MUI, Ketua Panitia, Dewan Pembina Maarif Institute, Tamu Undangan dan Para Peserta Halaqoh Nasional Ulama dan Cendikiawan di Malam Pembukaan (16/11/2017). Dok. Pribadi

Tidak dipungkiri bahwa Indonesia bukanlah negara berasaskan agama. Oleh karenanya, berbagai agama bisa hidup dan berkembang serta memiliki hak yang sama di mata hukum. Indonesia menjadi negara yang penduduknya banyak memeluk Islam, tapi bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. 

Karena budaya toleransi sebetulnya telah ditanamkan oleh nenek moyang bangsa kita sejak lama dan menjadi warisan berharga yang patut untuk dijaga. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, bukanlah hanya sekedar semboyan belaka. Di tengah kehidupan masyarakat, melalui kegiatan agama, budaya dan tradisi di dalamnya selalu terselip nilai persatuan dan persaudaraan. Misalnya saja budaya gotong royong pada dasarnya mengajari kita untuk peduli, bersatu dan bersaudara.

Maraknya aksi-aksi intoleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam kehidupan umat beragama belakangan memang sering terjadi. Permasalahan kecil jika dihembuskan dengan bumbu agama pasti akan mudah menyulut emosi masa. Agama yang seharusnya menjadi jalan kebenaran yang mengajarkan manusia untuk berbuat baik dan mencintai sesama makhluk, justru kadang disalah artikan, dinodai dan dipaksakan untuk mendukung pemahaman yang ekstrim atau tindakan yang pada hakikatnya tidak mencerminkan ajaran agama. Para pemuka agama yang seharusnya menjadi pendingin suasana, kadang sebagian justru terjebak dalam pusaran ini.

Di tengah pergulatan ideologis, politis, isu-isu global dan kemanusiaan di situlah dibutuhkan peran dari para ulama dan cendikiawan dengan menghadirkan solusi-solusi atau alternatif. Sehingga, pemerintah, ulama dan cendikiawan dapat bersinergi dalam mengatasi dampak atau situasi seperti itu. Ulama yang dilegitimasi sebagai pewaris para Nabi selain memegang amanat untuk meneruskan perjuangan Nabi juga mempunyai amanat untuk menunjukkan ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam.

Ulama diharapkan tidak berada dalam pusaran konflik dengan mengajak masa untuk melakukan tindakan melawan hukum, tapi ulama diharapkan mengajak manusia untuk berfikir jernih dan mengedepankan aspek musyawarah dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Perlu ada tabayyun atau klarifikasi dalam mengatasi berbagai permasalahan. Karena Ulama dan cendikiawan memiliki peran dan tugas selain mendidik umat, juga mengajari umat untuk berakhlak yang baik. Ulama dan cendikiawan juga diharapkan memberikan keteladanan dalam sikap, perbuatan dan perkataan.

Ulama dan cendikiawan dalam sejarah bangsa Indonesia, memiliki peranan yang begitu penting. Kemerdekaan Indonesia pun tidak lepas dari perjuangan keduanya, ibarat kakak dan adik yang tidak bisa dipisahkan. Dua kelompok yang sebetulnya memiliki tujuan yang sama. Ulama membentengi masyarakat pedesaan dengan pendidikan religius, dan mengajarkan nilai-nilai kepada para santri. Sementara cendikiawan menjadi titik sentral di tengah masyarakat perkotaan dan lebih banyak pemikirannya bersifat ilmiah.

Sinergi antara keduanya diperlukan. Ulama dengan rujukan kitab-kitab kuning, fatwa ulama, al-Quran dan hadis akan terasa lebih lengkap jika didukung dan dilengkapi oleh para cendikiawan dengan teori dan kajian yang bersifat ilmiah. Sehingga hasil pembahasannya dapat diterima dan dipahami semua kalangan.

Wapres JK, didampingi Ketua MUI, Dewan Pembina dan Ketua Panitia. Dok. Akun Halaman FB Maarif Institute fot Culture and Humanity

Karena itulah, Maarif Institute bekerjasama dengan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Lakpesdam dan UKP-Pembinaan Ideologi Pancasila mengadakan Halaqoh Nasional Ulama dan Cendikiawan dengan tema "Peran Ulama dalam Membangun Kehidupan Berbangsa yang Harmoni. Dilaksanakan pada 16-19 November 2017 dan dibuka oleh Wakil Presiden RI Dr (HC) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla dan dihadiri Ketua Umum MUI Dr (HC) KH. Ma'ruf Amin.

Dalam laporannya, Ketua Panitia sekaligus Direktur Eksekutif Maarif Institute M. Abdullah Darraz menyampaikan bahwa dalam kegiatan tersebut dihadiri oleh 80 ulama dari berbagai ormas keagamaan dan beberapa di antaranya menjadi narasumber untuk menjadi pemantiknya.

Sementara itu, Prof. Dr. Amin Abdullah selaku Dewan Pembina Maarif Institute dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini telah diinisiasi dan dipersiapkan tiga bulan sebelumnya. Dengan munculnya fenomena takfiriah, khilafah islamiyah, daulah Islamiyah dan NKRI bersyariah perlu mendapat respon para Ulama dan Cendikiawan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara tetap harmonis dalam bingkai NKRI. Ia juga berharap Indonesia dapat menjadi kiblat dari negara-negara Islam bukan lagi Timur Tengah yang selalu dilanda konflik. Bahkan menurutnya, banyak negara-negara Barat yang ingin belajar bagaimana Indonesia mengelola keragaman yang ada. Sementara itu halaqah ini diharapkan mampu membahas dan menyikapi isu-isu global dan lokal serta isu ke-islaman.

Wakil Presiden Republik Indonesia Dr (HC) Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla sendiri dalam sambutannya mengajak para ulama agar tidak hanya mengajak umat untuk terus mendalami agama persoalan akhirat, tapi juga mendorong dan mengajak umat untuk semangat dalam berusaha dan bekerja.

Misalnya di Pesantren-pesantren para santri diajarkan bagaimana cara berdagang agar mereka mampu menjadi seorang interpreneurship. Menurutnya banyak kasus besar di Indonesia terjadi bukan karena perbedaan agama, tapi lebih banyak pada aspek ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang baru kemudian dikemas dan dibumbui agama untuk menggalang masa. Karena itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah dalam mengatasi persoalan ini, tapi di situ juga dibutuhkan peran serta seluruh elemen bangsa termasuk ulama dan cendikiawan.

Sambutan Ketua Umum MUI. Dok. Pribadi

Menurut Ketua Umum MUI Dr (HC) KH. Ma'ruf Amin, Indonesia bukanlah negara agama. Ia berterima kasih dan merasa bangga kepada para ulama yang saat poin "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dalam Piagam Jakarta diminta untuk dihapuskan, mereka dengan ikhlas merelakannya hingga Indonesia tetap dapat bersatu.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline