Lihat ke Halaman Asli

Felgi KikoFananta

Accountant - Tax Consultant

Tugas Mata Kuliah Prof Dr Apollo (Daito)-Pajak, Penggelapan, dan Antisipasinya

Diperbarui: 12 April 2020   18:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Kemenkeu

Pajak adalah suatu bentuk kewajiban menyetorkan sejumlah uang atas individu atau badan yang besarannya ditetapkan oleh Negara sesuai dengan undang-undang atau peraturan lainnya. Pajak memiliki makna yang berbeda dengan retribusi, cukai, dan kewajiban pembayaran lainnya. Perbedaan utama dari jenis-jenis kewajiban pembayaran tersebut adalah peruntukan dan pengenaannya. 

Bila pajak ditarik langsung berdasarkan nilai transaksi namun wajib pajak tidak mendapatkan manfaat langsung, sedangkan retribusi adalah pengenaan pungutan atas manfaat yang diperoleh masyarakat karena menggunakan fasilitas milik Negara.

Pajak merupakan salah satu pendapatan Negara yang paling utama. Pendapatan Negara dari sector perpajakan turut menentukan arah kebijakan pembangunan. Semakin tinggi penerimaan pajak, maka anggaran pembangunan pemerintah akan semakin besar dan memungkinkan pemerintah untuk lebih luwes mengatur arah pembangunan. Pada tahun 2017, RAPBN dibiayai hingga 83% dari sektor perpajakan.

Oleh karena itu, segala tindakan penghindaran pajak merupakan tindakan yang bisa menghalangi Negara mencapai rencana anggaran yang telah dirancang sebelumnya. Konsekuensinya, negara bisa jadi tidak mampu membiayai rencana pembangunannya. Pertumbuhan ekonomi lebih lanjut akan terhambat sebagai akibat tidak tercapainya pembangunan fisik dan non fisik.

Penggelapan pajak dilakukan oleh wajib pajak untuk menghindari kewajiban yang sudah ditetapkan pemerintah. Tentu saja, pelaku bisnis dapat berusaha dengan berbagai cara untuk memperbesar penghasilan riil mereka. Ada banyak teknik menggelapkan pajak dalam rekayasa laporan keuangan. Tercatat setidaknya ada 5 (lima) metode untuk menggelapkan pajak:

1) Penggelembungan beban-beban dan biaya-biaya

Sederhananya, penggelembungan beban dan biaya dilakukan untuk memperkecil pernyataan laba dibandingkan nilai sebenarnya. Badan atau individu pelaku usaha mencatatkan beban/biaya fiktif untuk memperkecil keuntungan. Tentu saja, beban fiktif ini juga harus selaras dengan laporan keuangan lainnya seperti pernyataan arus kas. Ke mana larinya beban fiktif ini? Besar kemungkinan akan masuk ke pundi-pundi pemilik usaha atau oknum-oknum lainnya seperti manajemen perusahaan dan pihak-pihak lain.

2) Penyamaran pernyataan pendapatan

Selain beban, yang dapat diutak-utik dalam laporan keuangan adalah pendapatan. Selama lawan transaksi tidak membukukan pajak secara konsisten dan patuh, perusahaan dapat menyamarkan pernyataan pendapatannya ke nilai yang lebih kecil. Cara ini umunya lebih banyak dilakukan oleh pengusaha kelas menengah ke bawah. Cara ini dapat dengan mudah dilacak oleh aparat pajak melalui tracing transaksi G2G, B2G, dan B2B. Agak sulit untuk melacak pada transaksi B2C seperti pada toko grosir dan toko kelontong. Karena bukti transaksi tidak secara konsisten mencantumkan nama transaktor.

3) Pemalsuan faktur pajak

Faktur Pajak merupakan dokumen legal yang digunakan untuk memungut PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pada praktiknya, banyak pengusaha (baik PKP maupun non PKP) menerbitkan faktur pajak untuk transaksi yang tidak pernah ada. Apa keuntungan bagi pemalsu faktur pajak? Bisaanya pada kasus seperti ini, pengusaha pembeli tidak akan mengkreditkan faktur pajak tersebut, alih-alih malah membiayakannya langsung di akhir tahun sehingga akan mengurangi laba. Biaya ini adalah biaya yang tidak pernah keluar uangnya. Sedangkan bagi pengusaha penjual (penerbit faktur pajak), keuntungan yang didapat adalah fee dari penerbitan faktur pajak fiktif ini.

4) Peniadaan bukti potong

Pemungutan PPh Potong adalah salah satu aspek perpajakan yang paling sulit dimonitor oleh aparat pajak karena pengendalian aspek ini berada dalam kendali pengusaha. Yang bisa ditelusuri oleh aparat pajak hanya apa yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh. Pengusaha dengan sengaja tidak melakukan pemotongan PPh atas jasa yang ditransaksikan sehingga terbebas dari kewajiban penyetoran. Di lain pihak lawan transaksi juga merasa diuntungkan karena tak dibebani PPh tersebut. Satu-satunya cara untuk mendeteksi hal ini adalah melalui audit tertentu.

5) Kapitalisasi kerugian perusahaan

Praktik ini bisaanya ditemui pada perusahaan yang masih muda. Lazimnya, pada awal-awal pendirian, perusahaan tidak memprioritaskan perolehan laba karena masih harus membayar utang investasi. Namun, ini hanya celah yang bisa dimanfaatkan. Tidak semua perusahaan rugi pada awal-awal berdiri, ini harus diverifikasi. Logikanya, meskipun mereka betul-betul rugi, tidak mungkin rekan bisnis mereka sama sekali tidak melakukan pemotongan. Jika logika ini runut, maka seharusnya mereka tidak nihil tetapi lebih bayar. Tapi, karena menghindari kemungkinan diperiksa, maka perusahaan tersebut mengakali hingga laporan SPT nihil.

Bisa dibayangkan bila dari 1% dari total nilai pajak 2019 sebesar 1.545 Triliun Rupiah digelapkan saja nilainya sudah mencapai 15 Triliun Rupiah. Nilai ini saja dapat digunakan untuk membiayai puluhan proyek infrastruktur di seluruh negeri. Bukanlah suatu hal yang remeh sehingga Menteri Keuangan Republik Indonesia mengeluarkan semua jurus dari generic sampai pamungkas untuk memberantas penggelapan pajak yang hingga kini masih marak. Lalu, apa-apa saja langkah kongkrit yang dilakukan pemerintah selama ini yang memang terbukti mampu mengurangi angka penggelapan pajak?

1) Perbaikan sistem informasi Dirjen Pajak

Perbaikan sistem informasi bukan hanya dari aspek teknologi, namun juga dari rancangan dasar sistem perpajakan itu sendiri. Hal signifikan yang sudah menjadi kelumrahan di praktik perpajakan perusahaan secara umum adalah pemberlakuan sistem penomoran faktur pajak yang tidak bisa diduplikasi. Penggalakan NPWP juga dimaksudkan agar pengendalian data wajib pajak lebih sederhana dan mudah. Dari data yang terkumpul semenjak diberlakukannya NPWP dan dionlinekannya sistem perpajakan, dapat diketahui dengan lebih jelas siapa bertransaksi dengan siapa, berapa nilai transaksinya, dan pajak apa yang melekat ke transaksi tersebut. Pelaporan SPT tahunan pun dilakukan secara online sehingga dapat dipantau secara real time oleh aparat pajak dengan menggunakan kecerdasan buatan tertentu untuk mendeteksi anomaly dalam perpajakan.

Sumber : Twitter @DitjenPajakRI

2) Penerapan Tax Amnesty

Pengampunan pajak diberlakukan secara surut atau sunset policy. Sifatnya sebetulnya setengah ancaman dari Dirjen Pajak. Jadi, kebijakan ini diambil dengan asumsi bahwa sangat banyak wajib pajak yang tidak melaporkan aset dan transaksinya selama jangka waktu pemeriksaan yang bisa diperiksa. Pengampunan pajak ini berlaku bukan berarti wajib pajak dibebaskan dari kewajiban, melainkan kewajiban tersebut dialihkan menjadi kewajiban penebusan. Kebijakan ini disambut baik (atau terpaksa) oleh para wajib pajak yang memang merasa belum pernah melaporkan asetnya.

3) Peningkatan peran dewan komisaris pada PT

Peran utama pencegahan penggelapan pajak sebetulnya adalah satuan pengendalian internal. Salah satu unsur pengendalian internal yang tidak dikuasai atau tunduk pada perintah direktur selaku pengelola perusahaan PT adalah dewan komisaris. Salah satu fungsi dewan komisaris menurut UU PT No. 40 tahun 2007 adalah fungsi pengawasan dan pengendalian. Dewan komisaris bertugas untuk memastikan bahwa perusahaan dijalankan dengan penerapan GCG yang patuh. Kegagalan Dewan Komisaris dalam melaksanakan fungsi ini dapat diganjar secara hokum. Ini termasuk bila ditemukan adanya praktik penggelapan pajak dalam perusahaan.

4) Audit terbatas

Aparat pajak dapat menginisasi pelaksanaan pemeriksaan apabila menemukan suatu anomali perpajakan yang dapat dijadikan rujukan untuk melaksanakan pemeriksaan: misalnya, lebih/kurang bayar yang signifikan, perubahan pengakuan pajak yang abrupt/tidak wajar, dan adanya pihak-pihak berelasi yang terkait dengan kasus pajak lainnya. Dengan sistem pengawasan online yang dimiliki oleh Dirjen Pajak saat ini, maka memungkinkan untuk mendeteksi anomali tersebut secara dini dan dapat segera dilakukan tindakan korektif seperti penerapan denda, teguran, atau peringatan.

Target penerimaan pajak negara untuk tahun 2020 adalah sebesar 1.642 Triliun rupiah. Dengan kondisi merebaknya pandemi Covid-19 saat ini, kelihatannya target tersebut akan sangat sulit untuk dicapai, ditambah lagi inisiatif dari Kementerian Keuangan dalam memberikan tax relaxation selama masa pandemi. Untuk mencegah agar pencapaian target tidak melorot terlalu jauh, maka pemerintah memang perlu mengawasi dengan ketat pendapat negara dari pajak agar taka da lagi pihak yang melakukan penggelapan pajak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline