Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Perjalanan Rayya

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

134854727171190796

[caption id="attachment_200887" align="alignnone" width="747" caption="Rayya dan Arya"][/caption] Rayya Cahaya di Atas Cahaya Jenis Film : Drama Produser : Sabrang Mowo Damar Panuluh, Dewi Umaya Rachman Produksi : MAM PRODUCTION, PIC[K]LOCK FILMS Sutradara : Viva Westi Homepage : filmrayya.com/ Perdana Tayang : 20 September 2012 Casts : Titi Sjuman, Tio Pakusadewo, Christine Hakim, Lila Azizah, Verdi Solaiman, Alex Abbad, Masayu Anastasia, Arie Dagienkz, Fanny Fabriana, Vedie Bellamy, Bobby Rachman Pesona Dunia Dunia menyajikan sejuta pesona dengan gemerlap kemewahannya. Daratan, laut, taburan bintang di malam hari, Alam raya dengan kehangatan dan kesejukannya. Semua tertangkap dan melenakan panca indera. Dewasa ini, menjadi terkenal dan di-elu-elukan adalah jua pesona dunia tersendiri. Manusia merasa bangga ada di posisi itu. Banyak yang tertuju dan menuju pesona “Cahaya” popularitas. Bahkan menghalalkan segala cara untuk sampai di titik itu. Cahaya keindahankah itu semua? kalau iya, apakah itu keindahan yang hakiki? Nanti dulu. Film Rayya hadir seperti ingin menyajikan hal yang lebih indah dari itu semua. Kontras Adalah Rayya, bintang nomor satu di jagad industri kapitalis materialistis. Semua hal yang diidam-idamkan manusia yang berkiblat pada ke”Aku”an diri yang merasa bahagia jika menjadi spotlight semua mata memandang, sudah dia genggam. Cantik, pintar, multitalenta, terkenal, berpengaruh, dan di-elu-elukan, seolah menjelma kunci-kunci yang menjadikan Rayya seseorang yang akan dengan mudah mendapatkan akses pada apa saja, di mana saja dan kapan saja. Apakah ketika dia sudah sampai pada titik itu lantas kemudian bahagia? Semua berjalan indah? Nanti dulu. Rayya nyatanya dicampakkan, justru oleh orang yang paling amat dia cintai, paling dia ingini, Bram. Suami orang. Dendam tertancap. Semua seketika menjadi gelap. Niat bunuh diri langsung tertanam di hati. Adalah Arya. Fotografer idealis yang “kampungan” dengan kamera analognya. Usianya sudah tidak muda. Dia mendapat job melakukan perjalanan darat sepanjang pulau Jawa-Bali memotret Rayya untuk sebuah proyek buku biografi, menggantikan Kemal, fotografer sebelumnya yang diusir mentah-mentah oleh Rayya karena kebohongan. Tuturnya bijak, tenang, seolah menunjukkan dia telah banyak makan asam garam kehidupan. Sosok yang kontras dengan Rayya. Kontrasnya Rayya dan Arya setali tiga uang dengan tampilan shot gambar sepanjang film. Warna merah elegan baju yang dikenakan Rayya tabrakan dengan hamparan hijau persawahan, pantai, gunung, dan sepanjang perjalanan. Namun suguhan gambar jadi nampak indah. “Saya dari dulu mendambakan mengambil foto bintang besar gaya metropolitan disanding dengan alam, tapi bisa nyambung. Seolah-olah hutan dan laut adalah habibat aslinya”, Ujar Arya. “Semua fotografer gila pada artistik yang kontras dan paradoks-paradoks”, Jawab Rayya. Sesuatu yang kontras justru bisa jadi puncak interest. “Perjumpaan” Kacau balau hubungan percintaan Rayya dengan Bram yang suami orang itu, justru jadi titik balik, titik berangkat Rayya menemukan jati dirinya. Perjalanan dalam film ini ternyata tidak hanya fisik. Hati Rayya perlahan “hijrah”. Peristiwa-peristiwa dan persinggungannya dengan apapun yang dijumpainya sepanjang perjalanan diizinkanNYA menjelma guru. Mulai dari pernikahan Dalijo, budhe Arya yang Tuli namun tetap bersungguh berkontribusi di bidang pendidikan, Ibu-ibu pemecah batu, Pak Slamet penghuni Tugu, sampai penolakan penjual karak atas “kebaikan”nya. Dan tentu saja, Arya yang matang itu turut andil dalam hijrahnya hati seorang Rayya. Rayya yang beku perlahan mencair, mengalir menyusuri “perjalanan”. “Sebenarnya, apa yang kamu cari, Rayya?”, tanya Arya yang barangkali bingung memaknai perilaku Rayya. Punya segalanya, tapi terlihat tak bahagia. Rayya tak secara gamblang menjawab. Dengan senyum sambil berjalan-jalan kecil di tepi pantai, dia bilang: “aku mencari apa yang aku cari. Apa yaa..”. Mendengar jawaban Rayya atas Arya itu, yang terlintas pertama di benak, Rayya sendiri tak benar-benar paham apa yang dia cari, dia menjalani saja, membuka kemungkinan-kemungkinan perjumpaan, dengan apapun. Rayya bahkan seolah kabur meninggalkan realitas, namanya juga sedang patah hati, gamang. Dugaanku sedikit terjawab. Pada scene selanjutnya, dengan latar persawahan, Rayya bilang: “nemu aja ngga cukup seluruh usia, mana sempet mau nyari”. Mungkin maksudnya Rayya begini, Berjalan, berjalan, dan berjalan. Perjumpaan ada di setiap langkah, kalau saja kita mampu menangkap dengan kesadaran. Entahlah. Cinta Hujan deras di malam hari dan persediaan kamar hotel yang tinggal satu-satunya itu memerangkapkan Rayya dan Arya dalam hubungan intim di balik dinding. Bukan. Ini bukan hubungan intim layaknya sepasang manusia yang mabuk cinta dan dikuasai nafsu menggelora. Ini hubungan intim yang tanpa persentuhan kulit, apalagi persentuhan kelamin. Ini tentang saling mempercayai, saling melepaskan. Butuh saling percaya untuk bisa lepas berbagi kisah. Percakapan mengalir. Segala informasi masa lalu keduanya perlahan terurai. Rayya dengan tenang, sesekali meluap, mulai lepas menceritakan sebab musabab Dendam yang tertancap untuk Bram. Dan Arya, dibalik ketenangannya, ternyata menyimpan luka yang sama. Ditinggal istri yang selingkuh. Berbeda dengan Rayya, Arya tak lagi mendendam pada istrinya itu. Tak berharap apa-apa, tak ingin apa-apa. Memang, selalu ada kelegaan setelah kita mampu melepaskan. Ada rongga-rongga yang mengendur, seperti mempersilahkan udara baru untuk masuk. Cinta yang baru masuk? Siapa yang tahu.. Percakapan panjang tak berjeda yang memakan durasi lama itu benar-benar mencuri perhatian. Divisi pencahayaan gambar pada scene ini sukses menghadirkan suasana intim. Aku terbawa hanyut. Romantis. Cinta. Rayya dan Arya terluka karena cinta. Cintalah sumber derita. Arya bilang, “cinta yang dalam menawarkan penderitaan. Cinta yang sedang-sedang saja itu artinya cinta yang sedang menyamar”. Ah, Arya, bahasamu tingkat dewa, aku tak mudah mencerna maksud dibaliknya. Tafsir bebasku bilang, cinta yang dalam memang menawarkan derita, karena dengan merasakan derita, manusia akan menyelami yang terdalam dari dirinya. Deritalah pengantar terbaik kepada pertemuan dengan yang tak kasat mata, tempat manusia berpeluh dan mengadu. Tertawa Satire Di film ini kita akan melihat adegan tawa yang satir. Sebuah tawa yang mengejek mereka yang berlebih atas harta benda, tapi tak mampu lepas dari jerat kepemilikan. Adegan tawa di sebuah pasar. Arya yang tertawa, dan Rayya objek tawanya. Di Genggaman, Bukan Tujuan. Sebuah buku menemani perjalanan Rayya. Di sampul depan tertulis: “Kau Bukan Pengantinku”. Di scene awal, buku itu digambarkan punya peran penting. Jelas saja. Kalau tidak, mana mungkin Rayya sengaja datang ke kantor dalam keadaan terluka dan menangis, hanya untuk mengambil buku itu dengan tergesa?. Bukan. Buku itu bukan hanya properti pemanis film tanpa ada keterkaitan. Sambil memegang buku itu, Rayya mendeklamasikan Kalimat di dalamnya dengan lantang dan berulang. “Wahai dunia, aku mencintai gemerlap kemewahanmu. Laut, darat, kehangatan, dan kesejukanmu. Tapi kau bukan pengantinku, dan aku bukan pengantinmu. Aku tak bisa kawin denganmu. Tak mungkin, karena senja nanti, aku pasti akan meninggalkanmu”. Semacam penegasan sikap. Kesadaran penuh akan kesementaraan. Bahwa dunia cukup berada di genggaman, bukan tujuan. Cahaya di Atas Cahaya Dunia dengan segala pesonanya menawarkan kepalsuan, ilusi. Layaknya malam, dunia itu gelap, penuh misteri. Tapi tak lantas membelakanginya. Manusia di beri hati dan akal pikiran untuk mampu menggenggamnya, berjalan di atasnya. Dengan merasakan cinta yang dalam, manusia mengenal penderitaan. Melalui penderitaan, manusia menyelami bagian terdalam dari dirinya, berperjalanan. Dengan melakukan perjalanan, manusia mengalami perjumpaan-perjumpaan, manusia belajar memilah, mana yang cahaya, mana yang kegelapan. Mana cinta yang menyamar, mana cinta yang sejati. Kepalsuan-kepalsuan tanggal, yang sejati datang. Karena sesudah senja di ujung duka, setelahnya akan mengalir cahaya. Nikmatilah. Cahaya di Atas Cahaya. Terima Kasih, Rayya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline