Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Butuh Manusia (Minimal) Setingkat Nabi

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331268287670796700

[caption id="attachment_165337" align="alignnone" width="600" caption="CakNun mengawali pertunjukkan"][/caption] Berkesempatan menyaksikan langsung Gladi Resik (GR) Teater Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc karya Emha Ainun Nadjib di Gedung Kesenian Jakarta tadi malam (9/3) adalah suatu kehormatan tersendiri bagi saya. Bagaimana tidak, tiket yang dijual untuk pementasan yang akan dilaksanakan nanti malam, 9 Maret 2012 sudah habis terjual diawal minggu ini. GR yang dilakukan dari pukul 8 sampai 11 malam tersebut bukan lagi sebuah GR, itu sudah kelas pertunjukkan bagi saya. Mulai dari kostum, lighting, sampai pada pernak-pernik panggung yang tersaji sungguh sudah  all out. Samar-samar terdengar, ternyata Cak Nun dan tim me-niat-kan GR tersebut layaknya sebuah pementasan. Gedung yang berkapasitas kurang lebih 200-an seat ini dihadiri oleh beberapa teman-teman panitia Kenduri Cinta (nama Majelis Ilmu pengajian Cak Nun) dan beberapa wartawan yang ingin meliput. Apakah anda penikmat musik dan kesederhanaan Letto sebagai anak-anak “galau” ala Jogja? Apakah anda penikmat mbeling-nya cara berfikir dan merasa-nya Cak Nun? Apakah anda seseorang yang kehausan dan mendambakan minuman segar penghapus dahaga jiwa? Apakah anda penikmat pertunjukkan teater? Kalau begitu, Teater ini sungguh yang anda butuhkan. Tiga jam dibabat habis oleh para lakon dalam balutan dialog-dialog cerdas, humor yang sarkastis, musik mendayu-dayu sampai yang nge-rock, dan tentu saja, akting-akting pemain yang memukau. Mengulas jalan cerita dari awal sampai akhir adalah bukan tujuan dari tulisan ini dibuat. Itu sama saja menghilangkan hak para calon penonton “menikmati” secara “bebas” pertunjukkan nanti malam. Hanya saja, ijinkan saya menuliskan feeling yang belum juga beranjak sedari tadi malam hinggap memenuhi rongga dada selepas menyaksikkan GR tersebut. Inilah syair yang sudah barang tentu syair kelas teri, namun saya pastikan, ini datang dari kepolosan diri. Dan mari langsung saja meluncur, tanpa banyak basa-basi.

Alfatehah untukmu Cak. Sungkem, sungkem, sungkem. Betapa kamu sungguh berani secara vulgar menelanjangi hati dan pikiranmu sendiri melalui teatermu ini, keresahan. Dialog-dialog di dalam hatimu yang tersaji dalam pertunjukkan ini sungguh menyesakkan dadaku. Kepingan-kepingan hatimu menelusup merayap melalui pori-pori kemudian hinggap dalam hati dan kepalaku. Kau membelah dirimu sendiri ke dalam kepingan-kepingan. Mengurai apa-apa saja yang memang ingin kau urai. Keresahan, kegembiran, harapan. Lalu mengajak kami yang duduk menyimak untuk merangkaikan kembali bersama-sama, satu tujuan, kepada siapa lagi kalau bukan kepada DIA yang GANJIL sekaligus GENAP. Aku berguru pada kelemahanmu. Kelemahanmu yang paling nyata kulihat adalah kelembutanmu, sekaligus kemarahanmu atas amarahmu sendiri, kesungguhan  cintamu pada DIA yang SATU, MAHA. Bagaimana  mungkin aku yang menyimak tidak ikut  tersengat? Mengapa aku sebut itu semua sebagai kelemahanmu? Karena atas semua itu, hatimu terus-terusan berkecamuk, menunjukkan sisi dirimu yang naif. berdialog yang tak berkesudahan hingga ajal menjemput. Keresahanmu,  terbingkai jelas lewat karya-karyamu. Dengan lantang aku bisa pastikan, semua itu adalah caramu  me-nihil-kan dirimu sendiri. Nabi Darurat, Rasul Ad Hoc, begitukah yang engkau ingin menggambarkannya? Meruwat semua kebobrokan kebusukkan kerusakan  manusia, yang terjadi di bumi pada dekade ini? Siapakan ia?  Manusia setengah dewa-kah? Dan atas semua niat itu, terjerembabkah kamu kedalam KEHENDAKmu itu? Mengikuti nafsumu? Sisimu yang WARAS  lantang menjawab TIDAK. Sisimu yang waras sedang memicingkan mata meng-olok-olok menghinakan sisi  dirimu yang penuh  ingin namun lugu, naif. Dan siapa yang paling amat pantas menghinakan seseorang? Sesorang itu sendiri, diri sendiri. Kamu sedang berada pada frekuensi itu. Dan kamu melakukan itu semua atas kesadaranmu yang teramat sadar. Menelanjangi diri atas dasar CINTA kepada yang MAHA dengan segenap hati. Sungkem untukmu Cak. Alirkan, alirkan terus kesadaranmu atas pertanyaan-pertanyaan, keresahan-keresahan kemanusiaan. Keresahamu adalah keresahan kita semua, manusia yang sejatinya hanya akan kembali dan menuju kepadaNYA.

Terakhir, terima kasih kuucapkan, kepadamu yang menyajikan karya amat spiritual ini. Teater Nabi Darurat Rasul Ad Hoc. Al fatehah untukmu Cak Nun.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline