Lihat ke Halaman Asli

Eugenius Ervan Sardono

Jangan mempermainkan Tuhan

Wenggol dan Sinetron

Diperbarui: 2 Januari 2021   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wenggol dan Sinetron
(Kisah Indah dari Weleng Manis E)
"Wenggol", bagi orang Weleng, "nyanyian kebersamaan dalam satu derita atau kesulitan" atau "teja kebersamaan - dalam gebyar tawa, suka-ria pula seduh, sedan, tangis dan duka" - di kebun

Pertama-tama, saya menggiring pembaca memahami dengan saksama dalam tempo singkat, apa itu wenggol. Wenggol (Bahasa Manggarai: gotong royong). Wenggol lebih sejalin ditautkan dengan kebun. Orang bergotong royong bekerja dari kebun seorang ke kebun yang lain -demikian pun yang berikut.

Tempik gemuruh 'kesendirian', memikul sendiri beban dibantai oleh irama-susun kebersamaan menyulam yang terpisah, memental yang tercecer dan menenun yang tercerai-berai.

"Mari! Kita maju dan kerja sama", itulah moto yang disinarkan oleh wenggol.

Ada-ada saja kisah yang menepis jenuh dan malas. Mengisahkan sinetron yang mereka nonton semalam, kadang-kadang membuat para ibu melewati hari begitu tak membebankan. Kalau diusut, di antara mereka sendiri pada malama harinya sama-sama menyaksikan sinetron yang sama.

Imajinasi pun muncul. Gimana sebentar malam, ya. Mereka penasan dengan jalan cerita sinetron. Memang, hidup ini harus seperti sinetron, yang perlu jeda dengan polesan iklan dan intermezzo. Kalau seperti film, bayangkan, betapa tegangnya.

Waktu saya SD, sinetron yang lagi tren kala itu adalah DIA dan Tersanjung. Perihal jalan cerita, jangan tanya saya, karena saya tidak tahu. Tapi satu yang kuingat pemeran sinetron itu adalah Ari wibowo dan lupa aku nama artis perempuan. Maka, tidak mengherankan topik hangat di kebun bagi para orang tua adalah DIA, judul sinetron.

Ada sebuah jalinan antara wenggol dan sinetron, menarik bukan? Suasana di kampung itu merupakan sebuah suasana - lepas dari banyak refleksi. Hidup itu ibarat air mengalir dan rasanya begitu syahduh dan indah.

Syahdan, mereka pulang dan melanjuti pekerjaan berikutnya
-Kopi pagi, Malang, 2020-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline