Revolusi informasi yang ditandai lahirnya era teknologi digital, kini telah mengubah seluruh aspek kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.
Tak ada yang bisa lari maupun sembunyi dari efek digitalisasi tersebut. Menurut Fayakhun Andriadi dalam bukunya yang berjudul "Demokrasi di tangan Netizen: Tantangan dan Prospek Demokrasi Digital," menyebutkan bahwa adanya kemajuan teknologi dan informasi, membuat demokrasi pun bergerak menuju wajah baru, yakni menuju demokrasi digital.
"Demokrasi digital merupakan istilah yang mengawinkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyebaran demokrasi," - Fachrudin Achmad, 2018-
Tidak ada lagi batasan ruang, waktu, dan kondisi fisik ketika akan melakukan penggalangan dukungan publik atau partisipasi politik. Dengan kata lain demokrasi digital nantinya akan melahirkan e-partisipasi masyarakat. Tentunya, adanya teknologi ini juga turut andil dalam mendongkrak peran serta publik pada pemilu.
Di dalam "Panduan Penggunaan Aplikasi Gowaslu" disebutkan bahwa fungsi teknologi kepemiluan dewasa ini dihadapkan pada dua kemajuan, yakni: teknologi pemilu sebagai alat bantu untuk meningkatkan kualitas hasil pemilu; dan teknologi pemilu sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang ada, serta menjadi pertimbangan utama dari berbagai penentuan kebijakan berbasis data.
Dimana, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni agar setiap tahapan pemilu dapat terlaksana dengan baik, minim masalah dan resiko, serta dapat mewujudkan proses demokrasi yang jujur dan adil.
Begitu pun dalam proses pengawasan pemilu, pengawasan yang berbasis teknologi informasi menjadi suatu keniscayaan dan suatu kebutuhan mendesak yang harus diterapkan seluas-luasnya, agar dapat memaksimalkan aktivitas pemantauan yang ditujukan untuk memperluas cakupan keterlibatan (partisipasi) banyak pihak.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi dan jumlah laporan masyarakat, Bawaslu mencoba memanfaatkan teknologi informasi, dengan membuat sebuah aplikasi atau portal bersama yang dapat menghubungkan antara jajaran pengawas, yang diberi nama Gowaslu. Adanya Gowaslu ini, dapat dengan mudah dan cepat dijangkau oleh pemantau dan masyarakat, sehingga memudahkan juga para pengawas untuk menindaklanjuti informasi awal dengan menjemput data pelanggaran yang disampaikan.
Berdasarkan data yang dihimpun Bawaslu, sebelum adanya Gowaslu ini, jumlah laporan masyarakat terkait pelanggaan Pemilu itu tidak sebanding dengan hasil pengawasan. Pada Pemilu legislatif tahun 2014, dari total pelanggaran Pemilu sebanyak 5.814, hanya sebanyak 476 (8,2 persen) saja yang berasal dari laporan masyarakat.
Begitu pun pada Pilkada 2015, dari total pelanggaran sebanyak 2.572, hanya sebanyak 231 (8,9 persen) yang datang dari laporan masyarakat. Oleh karena itu, adanya Gowaslu ini mempunyai tiga tujuan utama, yakni: (1) memudahkan pengawas Pemilu menerima dan menindaklanjuti informasi awal dari pemantau dan masyarakat; (2) mewujudkan kolaborasi dalam meningkatkan keberanian dan pelaporan pelanggaran; (3) terlaksananya keterbukaan informasi publik terkait hasil pengawasan secara cepat dan berkelanjutan.
Lalu yang menjadi pertanyaan, setelahnya ada aplikasi Gowaslu, apakah memang ada perubahan yang signifikan terhadap pelaporan masyarakat?. Nah, berdasarkan data dari Bawaslu, pada penyelenggaraan Pemilu 2019, ada sebanyak 16.043 temuan dan pelanggaran Pemilu dan 1.581 (9,85 persen) diantaranya adalah yang dilaporkan masyarakat.