"Langit, menurutmu bagaimana wujud dari keadilan?", kutatap perempuan yang bertanya dengan lugu itu pada suatu masa. Meskipun terhalang jutaan volume air laut, aku merasa kali ini, aku ingin mengatakannya.
Maka kukatakan,
"Rinjani, kehidupan macam apa yang orang-orang jalani saat ini? Masih abukah kebenaran dan keadilan? Apa suara mereka masih dibungkam? Sudah taukah kau bagaimana kami dihilangkan?
Rinjani, ternyata 'Kemanusiaan' tidak muncul dalam dasar negara kita. 'Kemanusiaan' muncul dalam monolog Bu Sumarsih di depan Istana Presiden tiap Kamis.
Rinjani, tak usah kau risaukan hal-hal yang tak bisa kita bicarakan itu. Cukup kau tau bahwa kami pernah begitu lantang menyuarakan kebenaran. Aku tidak pernah mati, Rinjani. Aku akan selalu hidup dalam ide-ide yang terus tumbuh, sajak-sajak berdarah yang terus dikumandangkan.
Rinjani, tak usah kau takut apabila matamu tertutup ego orang-orang yang meminta suara namun tidak mendengarkan. Karena kebenaran itu menyala paling terang dalam kegelapan. Kebenaran akan terdengar paling lantang meski di dasar laut bagi orang yang memiliki kemanusiaan.
Tidakkah kau lihat, Rinjani? Di dalam kelamnya samudera, wajahku berkilauan bagai permata. Tidakkah ini mengingatkanmu pada suara lantang di pesta-pesta orasi yang dahulu sering kita semarakkan? Apakah aku merasa diperlakukan tidak adil, Rinjani?
Pada akhirnya, Rinjani, yang perlu kau patri dalam hatimu adalah, biarkan angin dan dedaunan memberi kabar tentang laut yang menyimpan semua kebenaran. Namun aku, kau, dan kita semua memiliki keberanian sepanjang derap langkah kaki. Yang telah hilang akan menyala bagaikan kobaran api di negeri ini,"
Demikianlah kulihat wajahmu dari atas permukaan air sambil menabur mawar merah. Untunglah telapak kakiku berpijak pada dasar samudera, sehingga tak kulihat dengan jelas air mata pada wajahmu yang teduh itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H