Lihat ke Halaman Asli

Agama: Bagai Ayam Ngajari Bebek Berenang

Diperbarui: 4 Februari 2016   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ayam menantang bebek berenang (Sumber gambar http://indahcakrawala.com/ayam-atau-bebek)"][/caption]

Ada setidaknya tiga persoalan etis yang disorot riuh oleh masyarakat dan pemerintah pada Januari 2016, yaitu terorisme, Gafatar, dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Yang menarik ialah gatra agama menjadi pisau bedah favorit untuk menganalisis ketiga persoalan etis tersebut. Sayangnya yang digunakan sebagai mata pisau adalah dogma agama yang pejal. Rumusnya hanya satu untuk setiap masalah: “Tidak sama, maka kamu salah.”

Setiap agama mempunyai sendi-sendi yang fundamental. Tanpa yang fundamental itu agama akan mati atau setidaknya akan kehilangan kekuatannya. Menurut alm. Eka Darmaputera sendi-sendi fundamental yang merupakan jatidiri agama mencakup tiga matra, yaitu dogma, ritus, dan etika yang merefleksikan praksis. Agama yang banyak dipandang sebagai tulang punggung beroperasinya keluhuran dan kebajikan budi manusia pada kenyataannya beroperasi atas dasar dogma dan ritus belaka.

Kebangkitan Agama-agama

Kebangkitan agama-agama dalam 15 tahun belakangan ini memang sudah terendus dengan gejala-gejalanya pada akhir abad ke-20. Kebangkitan agama-agama sebenarnya patut disyukuri di tengah-tengah zaman yang serba-kejap ini, zaman smartphone. Sayangnya kebangkitan agama-agama menuju arah fundamentalistik yang tidak memberi makna baru bagi sejarah umat manusia, tetapi justru ingin menghentikan gerak sejarah dan memutarnya kembali ke belakang. Agama menjadi seperti fashion. Orang menggunakan atribut agama agar orang lain melihat bahwa ia beragama atau menganut agama tertentu.

Agama yang hanya berhasil membuat umatnya khusuk berdoa, gemar menggunakan atribut atau perlengkapan agama, tetapi tidak bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, tidak bersuara ketika hak-hak kepentingan umat yang sah dikebiri, yang hanya menanamkan kebencian, yang dengan kata lain tidak menunjukkan kepedulian etis tidak akan sanggup bertahan.

Kebangkitan agama-agama sebenarnya dirangsang oleh suatu keprihatinan etis yang besar terhadap gaya hidup modern. Anehnya agama tidak melahirkan pemikiran-pemikiran etis yang berbobot. Iman menjadi dogmatisme dan teologi menjadi ideologi. Dengan meminjam kalimat Eka Darmaputera kebangkitan agama-agama justru membuat agama-agama sedang mengalami kemerosotan kepedulian etis yang amat serius. Dalam pada itu Mustofa Bisri alias Gus Mus mengatakan bahwa seringkali semangat beragama tidak diimbangi dengan pemahaman agama yang baik. Pemerintah harus menyadari (karena hal) itu merupakan ancaman yang serius dan masyarakat harus kembali pada jatidirinya sebagai orang yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab. (Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/01/29/05000091/Gus.Mus.Tuhan.Islam.Kah.Aku. )

Perasaan aman atas kepastian yang diperoleh dari rumus-rumus yang diwarisi dari pendahulu menyebabkan mereka bersikaf defensif dan insulatif. Mereka selalu mengingatkan orang lain akan bahaya dari pemikiran-pemikiran baru. Yang sangat tampak ketika isu LGBT menyeruak di kampus universitas besar. Lihat “Tanggapan Lebay Universitas Indonesia terhadap LGBT” di http://m.kompasiana.com/efrondp/tanggapan-lebay-universitas-indonesia-terhadap-lgbt_56a17937919773a50578688d.

Para penganut fundamentalisme menempatkan iman menjadi dogmatisme dan teologi menjadi ideologi. Kemudian muncullah aksioma “jika sudah ada iman tidak mungkin ada keraguan”. Dengan kata lain iman merupakan jawaban atas satu pertanyaan. Padahal hanya orang mati yang tidak mengajukan pertanyaan. Jika tidak ada pertanyaan, maka orang mustahil berteologi.

Etika Beragama

Teologi dan etika tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga memertanyakan jawaban-jawaban yang ada. Teologi dan etika mempertemukan secara dialektika antara jawaban-jawaban dari kitab suci dan pertanyaan-pertanyaan dari kehidupan nyata. Justru di sinilah yang tidak ada pada penganut fundamentalisme yang ironisnya melekat pada banyak selebritis agama. Mereka mematikan kreativitas dan dinamika orang beriman dalam berteologi dan beretika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline