Lihat ke Halaman Asli

Efrita Nelvist

Just Pipit

Bukan Kartini Milenial

Diperbarui: 22 April 2021   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tinggal di negeri orang ternyata bukan hanya tentang sebuah kilauan yang indah saja. Banyak perjuangan para ibu di balik kemewahan yang terlihat di depan mata. Para kartini yang usianya beragam antara ibu muda hingga ibu paruh baya ini mencoba bertahan dengan label minoritas  dan mempertahankan prinsip-prinsip hidupnya di negeri orang.

Di negara dengan mayoritas nonmuslim, seperti di Jepang, mempertahankan identitas keislaman bukan sesuatu yang tidak mungkin. Meskipun masyarakat Jepang adalah masyarakat yang homogen, keterbukaan mereka terhadap budaya asing yang masuk patut diacungi jempol. Karena kehomogenan inilah, para ibu muslimah ini bisa bersanding berdampingan hidup dengan para ibu yang notabene orang Jepang. Sehingga tercipta sebuah persahabatan dan toleransi dengan memegang prinsip hidup masing-masing.

Sebuah kerudung dan cadar bukan sebuah hal yang tabu di Jepang. Kita diwajibkan membuka cadar hanya  dua kali, pada saat di bandara untuk kepentingan imigrasi saat akan masuk ke negara tersebut dan kedua kalinya pada saat foto KTP. Ketika kita akan masuk ke sebuah komunitas masyarakat, mereka akan menerima kita apa adanya dengan satu syarat, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Mereka akan menghargai kita sebagaimana kita menghargai mereka.  Hal ini termasuk dengan penguasaan bahasa Jepang yang memadai.

Seorang ibu muslimah yang menguasai bahasa Jepang akan sangat mudah diterima di lingkungan sekitar masyarakat tempat tinggalnya. Mereka akan lebih terbuka kepada orang asing yang bisa berbahasa Jepang daripada kepada orang asing yang menggunakan bahasa Inggris, karena nation pride mereka akan bahasa Jepang sangat tinggi. Di sinilah tantangan ibu muslimah untuk lebih meningkatkan dirinya belajar bahasa Jepang agar lebih bisa berkomunikasi dengan teman-teman di lingkungan rumahnya.

Perjuangan kebahasaan seorang kartini ibu muslimah tidak sampai di situ. Hubungan yang erat antara guru di sekolah dan orang tua di rumah sangat diperlukan. Oleh karena itu diperlukan komunikasi dengan bahasa Jepang yang baik. Hal ini berguna untuk perizinan tidak masuk sekolah, hari guru berkunjung ke rumah, hari konsultasi di sekolah dan komunikasi sehari-hari apabila diperlukan.

Satu lagi yang harus ditegakkan oleh ibu muslimah yang tinggal di Jepang adalah tentang penguasaan halal dan haram. Prinsip ini harus dipegang teguh meskipun lingkungannya sangat bertolak belakang. Jepang adalah negara Budha dan Shinto. Sembelihan yang diterima dari mereka tidak halal, karena prinsip sembelihan halal dalam Islam hanya sembelihan dari Yahudi dan Nasrani. Dasar ini yang menjadikan kehati-hatian kita untuk selalu memilah makanan yang halal dan haram yang berasal dari Jepang.

Pilah-memilah makanan halal dan haram inilah yang harus diketahui ilmunya oleh ibu muslimah yang tinggal di Jepang. Misalnya seperti tidak sembarang membeli daging di supermarket dan hanya memasak daging dengan logo halal, meskipun dibeli dalam keadaan beku. Karena sembelihan yang tidak halal tadi membuat semua daging tanpa logo halal tidak bisa dimakan, meskipun itu daging sapi ataupun ayam. Di supermarket, ibu muslimah hanya bisa membeli ikan yang memang di Jepang luar biasa ragamnya. Kita bisa menikmati ikan sanma di musim gugur, kepiting capit besar di musim dingin, ataupun ikan mata sebelah yang berbeda di kanan dan kiri.

Tantangan ibu muslimah satu lagi tentang halal dan haram yaitu menghafal tulisan Jepang untuk ingredien yang tidak bisa dimakan, seperti kanji daging sapi, ayam, ataupun babi, kanji emulsifier, gelatin, lecitin yang termasuk bahan syubhat, serta kanji ingredien yang halal dimakan pun harus dihafal luar kepala. Sehingga tidak lagi salah beli barang karena mengandung bahan-bahan yang tidak bisa dimakan. Akhirnya malah jadi mubazir karena terbuang sia-sia.

Beruntungnya saat ini di Jepang mempunyai badan sertifikasi halal yang bernama NAHA (Nippon Asia Halal Association). Meskipun belum sampai ke taraf memberikan label halal untuk sebuah barang, tetapi badan halal yang berpusat di Chiba ini mempunyai otoritas untuk memberikan sertifikasi halal pada restoran-restoran di Jepang yang menyajikan makanan halal sehingga seorang ibu muslimah tidak akan kesusahan lagi ketika akan makan di sebuah restoran karena bisa mencari restoran halal meskipun jumlahnya masih terbatas. Saat ini kita bisa menikmati ramen halal, ikan bakar dengan bumbu yang halal, hingga wagyu halal.

Masih berkaitan dengan halal dan haram, seorang ibu muslimah yang tinggal di Jepang, harus rela bangun pagi untuk selalu menyiapkan bekal sekolah untuk anak-anak mereka. Meskipun di sekolah dasar negeri disediakan makan bersama setiap hari, karena kehati-hatian dengan bahan dan bumbu masaknya, seorang ibu muslimah harus bisa bekerja sama dengan sekolah agar makanan yang diterima oleh anak-anak mereka terjamin kehalalannya. Disinilah perjuangan ibu muslimah sangat diperlukan.

Kehomogenan masyarakat Jepang membuat adakalanya seorang ibu muslimah dituntut untuk memberikan bekal sekolah dengan menu sama seperti menu sekolah hari itu. Tujuannya agar tidak terjadi ketimpangan dan perbedaan diantara teman-teman anaknya di sekolah. Otomatis hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ibu muslimah untuk belajar masakan Jepang yang terkadang harus melewatkan bumbu-bumbu yang tidak halal seperti sake dan mirin. Belum lagi rasa yang masih asing di lidah sehingga mau tidak mau harus disesuaikan dengan selera si anak agar tetap mau menghabiskan bekal makan siangnya di sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline