Setelah lewat beberapa hari, aku sampai pada pemikiran bahwa keputusanku terburu-buru. Teman-teman kelasku telah mempersiapkan kelanjutan hidup mereka dengan tetap tinggal di kota Medan.
Jumlah mereka yang diterima melalui jalur undangan adalah 15 orang. Semua memilih kampus di Medan, dan tujuan paling utama adalah Universitas Sumatera Utara.
Masih ada yang sukar diungkapkan. Semangatku begitu bergelora untuk beranjak dari sekolah ke perguruan tinggi. Aku mempunyai satu kesempatan sama seperti mereka menempuh perkuliahan.
Universitas Brawijaya merupakan kampus ternama, tetapi namanya hanya samar-samar saat seseorang mencoba mengingatnya.
Tidak seorangpun siswa mengetahui persis lokasi kampus tersebut, bahkan para guru terkejut mengetahui salah satu siswa sekolahnya bakal berkuliah di sana.
Ketidaktahuan para guru pada akhirnya menimbulkan sikap tidak peduli. Mereka terbiasa menghadapi kejutan setiap tahun di antara ratusan siswa yang belum tentu akan mengingat mereka kelak di kemudian hari.
Jika aku ingin membatalkannya, maka ada satu kesempatan lagi. Ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri membuka pendaftaran sampai akhir bulan.
Hari-hari tersisa cukup panjang sebelum sampai pelaksanaannya, yang menambah pikiranku terganggu untuk menentukan.
Aku hanya bersandar pada keinginan, di belakang itu semua, tentu terbesit banyak keraguan.
Bapak tidak menyetujui, dan berdasarkan kecemasannya, tidak ada kepastian ke mana aku akan berakhir sebagai sarjana Sastra Prancis.