Lelaki itu memegang bungkus plastik di tangannya, bergerak untuk mencari penjual rokok keliling. Pagi hari di depan stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, pandangannya mengintai ke setiap penjuru, mengelilingi kawasan yang terangnya ditiupkan matahari pagi.
Di atas pedestrian, pencariannya disertai kebimbangan. Tidak seorangpun. Dengan suara yang samar-samar berbunyi dari rongga mulut, ia mulai memperlihatkan kekesalan.
Kemudian lelaki itu duduk di tepi bangku panjang pedagang minuman gerobak. Segelas teh manis hangat diteguknya namun sama sekali tidak menghentikan getar bibirnya untuk terus berkomat-kamit. Ia benar-benar merasa kehilangan aroma pagi.
"Bang, ada rokok sebatang bisa saya beli?" ucapnya kepada saya setelah tidak juga menemukan rokok dari pedagang tersebut.
Kami berpapasan ketika saya menyelesaikan sarapan pagi mie instan rebus dengan imbas: rasa asin yang menggulung lidah.
Sebatang rokok menjadi penutup. Asap tembakau menimpa rasa asin itu dan karena bumbungan serta aroma mewangi cengkeh menebar ke udara, si lelaki terpanggil untuk menghampiri saya.
Dari tangannya, dia menyodorkan lembaran 2000 rupiah yang lusuh dan terlipat. Saya memberikan sebatang rokok secara cuma-cuma dan menolak menerima uang.
Dia memaksa untuk membayar, memamerkan lembar uang ke hadapan saya dan mencoba menjatuhkannya ke dalam kantong kemeja tetapi saya merasa itu percuma. Saya telah memutuskan dan dia harus menerima.
Setelah tegukan asap menggaruk tenggorokannya, lelaki itu menemukan kedamaian yang mengubah suasana hati.
Dia pecandu berat dan mengaku mampu menghabiskan rata-rata 3-4 bungkus rokok per hari dengan syarat bahwa pendapatan harian setara total harga rokok. Dengan kata lain, pendapatan bersih minimum yang harus dikumpulkannya Rp100.000 per hari. Tetapi, dia adalah penjaga parkir yang membuat perkiraan tersebut tidak cukup masuk akal untuk dibagi memenuhi kebutuhan perut.