Apa alasan seseorang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi? Jawaban yang umum diberikan hampir terdengar seragam. Orang-orang berharap ia kelak bisa memperoleh pekerjaan layak dan berpendapatan tinggi.
Di sisi lain, dengan menyandang status mahasiswa, sang anak telah memberikan satu bentuk kebanggaan terhadap orangtua.
Kebanggaan itu diteruskan kepada sanak saudara di kampung halaman untuk dibuatkan acara adat sebagai bentuk syukur.
Pandangan semacam ini terus bertahan dari generasi ke generasi. Saban tahun, murid berbondong-bondong mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran, ekonomi, hukum, teknik, komunikasi dan jurusan-jurusan "besar" lain. Fakultas ini dinilai memiliki prospek cerah dan menjanjikan untuk masa depan.
Karena itu, tak aneh bila ada ketimpangan jumlah mahasiswa di jurusan "besar" dan "kecil". Semua orang bercita-cita membentuk dirinya sebagai orang sukses sehingga pilihan jurusan tak boleh ecek-ecek.
Namun, kebiasaan-kebiasaan tersebut lama-kelamaan menjauhkan orang dari budaya ilmiah. Ada perbedaan pandangan sukses menurut perguruan tinggi dan masyarakat di luar sivitas akademika.
Perguruan tinggi memiliki kewajiban menyelenggarkan triharma perguruan tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat.
Keberhasilan sivitas akademika tercermin ketika ia mengembangkan sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Poin-poin tersebut termuat dalam UU Pendidikan Tinggi.
Tetapi memang ada perbedaan besar dalam memandang kampus hari ini. Makna tridharma perguruan tinggi terlihat direduksi seolah hanya melayani permintaan pasar.
Poin pengabdian masyarakat, misalnya. Sebagian orang menganggap memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan masyarakat terimplementasi dengan ia bekerja pada perusahaan.
Tenaga, ide dan keterampilannya terserap lapangan pekerjaan sehingga ia menilai sudah berkontribusi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat lewat karya-karyanya.