Salah satu tantangan industri manufaktur adalah masalah pembiayaan. Ketika bicara pembiayaan, pikiran tertuju pada institusi keuangan seperti perbankan atau institusi non-bank lain.
Di negara luar, sebagai contoh, China memiliki China Development Bank yang berdiri pada Maret 1994. Bank ini menyediakan pembiayaan berorientasi pembangunan untuk proyek-proyek pemerintah prioritas nasional seperti infrastruktur, industri dasar, energi dan transportasi.
Kemudian, di Korea Selatan, mereka memiliki Korea Development Bank (KDB). Bank yang berdiri sejak 1954 ini membiayai dan mengelola proyek industri utama untuk meluaskan pengembangan industri dan ekonomi nasional Korea Selatan.
Berbeda di Indonesia, saat ini, jenis bank yang dikenal adalah bank sentral (BI), bank umum dan bank perkreditan rakyat. Indonesia tak memiliki bank khusus yang benar-benar beroperasi untuk pembiayaan industri. Skema pembiayaan masih mengacu pada skema konvensional.
Perbankan umum berhati-hati melakukan pembiayaan industri. Pertimbangannya, hasil industri baru terlihat dalam jangka panjang. Return of investment (RoI) dianggap lebih lama sehingga perbankan lebih memilih pembiayaan kepada sektor ritel.
Alasan lain, pembiayaan pada sektor ini sangat besar dengan pertimbangan resiko kredit macet.
Ironisnya, ketika perbankan saat ini kelebihan likuiditas, pengusaha tekstil justru kesulitan mendapatkan pinjaman.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi kepada Bisnis mengatakan pihak perbankan mungkin masih sangat berhati-hati dan mencermati keadaan pandemi sekarang.
Sebaliknya, pengusaha sektor riil tentu merasa keberatan dengan skema konvensional, terlebih suku bunga mengikuti BI Rate yang sewaktu-waktu naik--yang akan diikuti bank-bank umum.
Idealnya, pengusaha sektor riil butuh pembiayaan jangka panjang dengan tingkat bunga rendah.