Mendengar kata ghosting, memori saya kembali membawa pengalaman masa lalu. Ghosting dalam pengertian popular adalah ditinggal pergi tanpa mengetahui penyebab dan dilakukan dengan cara tiba-tiba.
Saya pernah memutuskan hubungan secara sepihak, memblokir semua kontak dan media sosial dirinya. Komunikasi terputus.
Cara ini terbilang sangat kelewatan. Saya sebelumnya tidak pernah memblokir kontak telepon orang yang saya kenal, sampai saat ini, kecuali nomor-nomor dari pesan spam yang memberi kerentanan terhadap aksi penipuan dan keamanan digital.
Setelah melakukan pemblokiran, perasaan semula tenang namun semakin memuncak dengan arah sebaliknya, timbul rasa bersalah dan merasa ini adalah tindakan bodoh seumur hidup. Sama seperti pecundang yang mudah lari dari masalah yang dihadapinya.
Sesungguhnya dorongan emosional tidak seharusnya diteruskan dengan cara-cara menciptakan tembok dan pembatasan.
Saya dan dia sudah menjalani hubungan lama sejak masa perkuliahan hingga lulus dan memperoleh pekerjaan masing-masing.
Di antara kami, ada halangan terbesar yang terus terbawa sepanjang hari: perbedaan agama.
Perbedaan itu merupakan sesuatu yang sulit dikompromikan dan diubah. Kami memegang prinsip keyakinan masing-masing. Bahkan nama belakang dia adalah Islam yang mencerminkan kuatnya keagaaman bagi keluarganya.
Karena itu, dalam rentang waktu yang lama lula, pasang surut terjadi beberapa kali, bukan disebabkan masalah pribadi, melainkan ketegangan perbedaan agama.
Kami sering mengalami fase saling berdiam diri dan setelah itu kembali normal. Setiap dia mengalami kegalauan, dia menuliskan La Tahzan Innallaha Ma'ana di status profil.