Anies Baswedan hanyalah satu dari 34 Gubernur provinsi di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur daerah kekuasan masing-masing. Tetapi, dalam kurun waktu dua pekan belakangan, Anies telah menampilkan dirinya menjadi episentrum dalam menggerakkan dinamika politik nasional.
Politik dengan beragam definisinya selalu diawali dengan bahasa. Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook memberikan ruang untuk memperbincangkan Anies Baswedan.
Ketika ia hadir menyambut Habib Rizieq Shihab (HRS) pada 10 November 2020 lalu, pembacaan politik terhadap dirinya semakin menguat bahwa dia merupakan pembela dari HRS yang secara terang-terangan telah dianggap sebagai Imam Besar umat Islam.
Pengaruhnya begitu tinggi meski sebelum kepulangan HRS, Menko Polhukam Mahfud MD memberikan pernyataan bahwa jumlah pengikut HRS sedikit dan menganggap isu kepulangannya sebagai urusan pribadi HRS dan pemerintah Arab Saudi.
Momentum penyambutan HRS setidaknya telah menularkan pengaruh besar kepada Anies Baswedan.
Tidak dapat dipungkiri pula, pengaruh besar itu ditangkap secara berlainan oleh pemerintahan pusat. Anies diperiksa terkait hajatan HRS oleh Polda Metro Jaya dalam selama masa pandemi Covid-19 sampai ancaman sanksi dari Kemendagri.
Tetapi, untuk hal sederhana sekalipun, dia berhasil menciptakan keriuhan di negeri ini dengan postingan foto dirinya sedang membaca buku "How Democracies Die" pada Minggu, 22 November 2011, pagi.
Pembicaraan adalah modal besar terhadap Anies. Sejak dia diperbincangkan, apa yang muncul darinya diketahui dan dikenal yang disempurnakan dengan respon dari masyarakat, entah mereka itu pendukung atau pembenci dirinya.
Kesimpulan dari ini semua ialah wacana dari dia terus direproduksi, tetapi dengan kecenderungan polarisasi politik yang membelah pandangan masyarakat.
Kita meyakini bahwa muara polarisasi itu terbentuk dari Pilkada DKI Jakarta 2017 ketika Anies kala itu berhadapan dengan Ahok memperebutkan kursi nomor satu di Jakarta.