Bapak pendiri negara AS, Benjamin Franklin, sekali waktu mengatakan bahwa keadilan tidak akan terwujud sampai mereka yang tidak terpengaruh menjadi ikut marah bersama dengan mereka yang terpengaruh.
Keadilan mungkin menjadi bahasa yang jarang tersiar di telinga masyarakat selain dari urusan politik dan urusan praktis lainnya.
Rasa keadilan itu akan dibahas di tulisan dalam mengurai polemik penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera kepada 6 hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diberikan Presiden Joko Widodo pada 11 November 2020 lalu.
Polemik timbul dengan kecurigaan terhadap kemungkinan terjadinya konflik kepentingan kepada para hakim dalam mengadili perkara UU yang digugat.
Untuk mendekatkan pemahaman ini, saya mengurai masalah dengan menjabarkan terlebih dahulu pretext dan text dari peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini.
Saya memilih term "konflik kepentingan" karena memang harus disadari bahwa peristiwa pemberian Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera meskipun dilakukan secara yuridis, di sisi lain, memiliki rentang waktu yang bersinggungan dengan penanganan perkara UU dan faktor manusiawi bahwa seseorang bukan makhluk sempurna yang mudah jatuh dalam kesalahan.
Analisis pretext pada umumnya digunakan untuk menyelidiki latar suatu sejarah, karya sastra atau diskursus pada periode tertentu. Pendekatan ini terbilang unik karena konflik kepentingan hakim MK sebenarnya masih berupa dugaan. Itu belum terjadi atau bahkan mungkin tidak akan terjadi.
Tetapi, saya memandang pretext harus diperkuat. Diskursus harus tetap dibuka untuk mengenali narasi-narasi yang mengemuka di ruang publik selama ini. Apa yang menjadi polemik saat ini diharapkan bisa berakhir dengan teks berkualitas untuk perjalanan demokrasi negara.
UU CIPTA KERJA
Publik telah menerima narasi besar dalam sebulan terakhir yang memperlihatkan kehadiran UU Cipta Kerja sebagai jalan bagi Indonesia menarik masuk investasi dan menambah banyak lapangan pekerjaan.