Secara kebetulan, saya bertemu dengan mahasiswa sejurusan dalam bis menuju Surabaya. Dia baru saja menyaksikan konser di kota Jogja, sementara saya berangkat dari kota Solo menuju Malang.
Sepanjang perjalanan obrolan kami menukik naik-turun. Membahas yang basa-basi sampai menyelam pada hal-hal yang serius.
"Mungkin ngga wartawan jadi orang yang memberi edukasi lagi?" pertanyaan ini meluncur ke telinga.
Ambil waktu sejenak.
"Fungsi edukatif, begitu? Masih," jawab saya setengah ragu.
Mungkin, yang terbenak di pikiran teman ini adalah wartawan-wartawan media arus utama semacam Rolling Stone, Tempo, Kompas, dan nama-nama lain, yang menurut catatan atau bisik-bisik, akan menghadapi 'senjakala' tatkala diserang tampa ampun oleh sejuta konten-konten digital.
Saya terkejut mendapat pertanyaan ini. Ternyata ada keniscayaan untuk dunia jurnalistik. Profesi mulia, begitulah kira-kira bahasa memujinya. Atau mengutip ucapan Ito (kakak/nenek) saya ialah orang yang pandai berbicara, pandai menulis tetapi berkantong pas-pasan.
Ada harapan, ada keniscayaan yang nampaknya justru ia memukul mundur optimisme. Keniscayaan yang justru berseberangan pada kebahagiaan di era digital dan kemajuan teknologi.
Keniscayaan itu seakan-akan mengharapkan kembalinya kejayaan media-media cetak. Membaca sambil meneguk secangkir kopi di pagi hari. Menyiram pikiran dari kedalaman informasi.
Umpamanya ketika kita bertanya mengenai umru seseorang. Dalam masa-masa lalu, pertanyaan ini diujarkan agar kita dapat membedakan tua-muda agar tidak canggung menyapa orang.
Sekarang agak berbeda. Umur seseorang tidak sekadar membedakan tua-muda, tetapi dapat membedah alam pikir masing-masing orang, apakah orang ini termasuk generasi, Y, Z, atau Millenial.