Bermula dari perdebatan, kini Jonru Ginting menemukan namanya di catatan kepolisian. Ia dilaporkan Muannas Al Aidid yang menudingnya telah mempublikasi ujaran kebencian secara provokatif dan terus-menerus di media social, seperti dilansir dari bbc.com (1/9).
Jonru kerap menuliskan teks yang bernada tidak mengenakkan batin sebagian pihak. Ia sangat potensial untuk dijerat dengan tuduhan provokasi, bahkan kemarin ia dilaporkan lagi oleh pengacara Muhamad Zakir Rasyidin ke Mapolda Metro Jaya, seperti dilansir dari kompas.com (4/9). Nampaknya ia telah menyadari atau harus disadarkan bahwa tulisannya bagaimanapun juga akan mempunyai tendensi untuk menyulut kemarahan orang-orang.
Setiap manusia terlahir dan mengerti untuk tetap menjaga kehormatan dirinya dan juga harus mampu berlaku adil untuk menghormati orang lain. Tidak ada perkecualian. Bagi pemeluk agama, tidak sulit memberi tahu bahwa keyakinan kita tidak boleh direndahkan karena itu juga berarti merendahkan martabat kita sebagai manusia.
Ada keprihatinan jikalau benar ia merasa tidak ada yang salah dengan tulisannya yang mempertanyakan asal-usul keluarga Presiden Joko Widodo yang dianggapnya belum mempunyai kejelasan.
Khalayak dapat menebak arah pelaporan ini. Namun, situasi yang akan terjadi sangat tergantung mengingat kesohoran Jonru di dalam jagat maya telah memposisikan dua kubu: mereka yang pro dan kontra.
Selanjutnya adalah kekhawatiran, sekaligus juga akan menunjukkan keunikkan negeri kita: bagaimana seharusnya menyikapi ujaran-ujaran kebencian atau hasutan yang dapat mengundang perpecahan.
Pelaporan Jonru ke pihak kepolisian telah membentangkan dikotomi: pantas dan tidak pantas. Berangkat dari sini, secara tidak langsung, ada suatu tekanan yang memaksa warganet dan masyarakat lainnya untuk berpikir ulang sebelum menuliskan sesuatu. Maksudnya, janganlah mencoba untuk berpikir seperti Jonru.
Hal ini sangat menjengkelkan dan aneh. Dikotomi tadi sudah merasuk ke dalam nalar khalayak. Publik merasa muak atas lalu lintas 'sumbu pendek' di jagat maya dan mereka menginginkan sebuah pembalasan yang tepat. Mereka takut dapat teracuni oleh konten-konten yang diciptakan Jonru sehingga berusaha keluar dan mencari jalan untuk menyingkirkannya.
Saya sungguh menyayangkan fenomena yang menampakkan begitu rendahnya dialektika jagat maya kita. Wacana belum dapat diterima sebagai pertarungan ideologi dan marjinalisasi. Orang-orang ingin terlihat gagah dibalik rasa takut dan kecemasannya. Mereka telah mencapai kebahagiaannya, namun tidak pernah tahu bagaimana menikmati kebebasan.
Label untuk menentukan pro dan kontra harus terlihat terang. Ini adalah desakan yang menuntut segalanya harus dijalankan dengan mudah dan cepat. Intelektual yang menyayangkan pelaporan terhadap Jonru akan ditendang masuk ke dalam kubu pendukung, meskipun pada dasarnya ia tidak mempunyai motif dan niat untuk mendukung Jonru. Semuanya akan melenceng dan bengkok menjadi pro dan kontra, hitam-putih, baik buruk, benar dan salah.
Apa yang terjadi dengan jagat maya seumpama orang-orang yang menjadi paranoid selesai membaca cerita-cerita horor. Ketakutan itu sesuatu yang wajar dan manusiawi. Namun, ia tersesat dan terus diselimuti oleh hantu-hantu yang merasuk pikirannya.