Lihat ke Halaman Asli

Efrem Siregar

TERVERIFIKASI

Tu es magique

ALS Medan-Malang, Siapa Takut?

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah perjalanan panjang, 4 hari lamanya.  Lelah, tetapi menarik. Dari Medan menuju Malang, lewat jalan darat dengan bus Antar Lintas Sumatera (ALS). Bukan tak ada pilihan, tetapi bangga rasanya bisa mampir di setiap kota dan provinsi yang rentangnya hampir 3000 km.

Untuk meregangi otot-otot yang pegal dan mengisi perut, bus ini berhenti 3 kali sehari di rumah makan. Bahkan ada perhentian tambahan saat perbaikan bus yang mogok, numpang ambil ATM, atau minta buat buang air besar. Sah-sah saja, antara supir dan penumpang biasanya akrab satu sama lain.

Rasa kesal pastilah muncul. Tidur pun tak karuan. Umumnya, celoteh ini  sering dilontarkan para penumpang. Tetapi, bagi yang terbiasa jalan jauh dengan ALS, biasanya inisiatif membawa tikar atau yang lainnya buat dibentang . Sopir dan kernet tidak keberatan, asal tak mengganggu. Apalagi, kalau sopir cadangan belum mau tidur, tempat tidurnya boleh dipinjam sebentar.

Selain bisa menikmati perjalanan separuh nusantara, obrolan dengan penumpang lain adalah nilai tambahnya. Kekeluargaan segera terbentuk. Wajar, empat hari saling diam-diaman malah lebih parah. Cerita-cerita para penumpang selama merantau di Medan menarik disimak.

Seorang Ibu asal Surabaya menceritakan, awalnya merasa takut saat harus tinggal di Medan karena orang-orang Bataknya yang keras. Namun, seiring perjalanan waktu, kekhawatiran itu tak muncul. Ia sudah terbiasa dengan masyarakat Medan. "Saya ngga takut kok tinggal di Medan," ujarnya yang sudah 20 tahun lebih menetap di Medan. Hal yang sama diamini perantau lainnya.

Menjadi perantau bisa mengenal budaya masyarakat. Tengok saja, seorang Bapak yang mudik ke Semarang. Ngomong Jawa, tetapi gaya Medan. Adalagi seorang Ibu dengan tujuan yang sama, kalau kesal sama anaknya, kelihatan Medannya.

Semua perantau ini merasa betah tinggal di Medan. Masyarakat di Medan sendiri memang tak pernah ribut atas nama SARA. Sebagai anak Medan, bangga melihat kerukunan di kotanya sendiri.

***

Balik lagi ke perjalanan. Selama di daerah Jambi,  Sumatera Selatan hingga Lampung, pada malam hari, laju kendaraan bus terbilang cepat untuk menghindari para perampok jalanan. Maklum saja, lintas tengah yang dilewati hampir berselimut hutan dan kebun.

Barangkali bus-bus Sumatera sudah paham hal ini. Maka tak heran, kaca depan atau samping  banyak yang retak atau pecah akibat lemparan batu. Untuk alasannya memang belum pasti, tetapi diyakini karena ulah bus-bus yang ugal-ugalan. Tetapi menjadi dilema karena kekhawatiran para awak bus dan penumpang terhadap penjahat jalanan tak bisa dipungkiri.  Pun era 80'an, kata orang-orang yang pernah naik bus Sumatera, harimau suka melintas di jalan.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline