Lihat ke Halaman Asli

Efrain Limbong

TERVERIFIKASI

Mengukir Eksistensi

Menempatkan Ketahanan Literasi di Tengah Kegaduhan Politik

Diperbarui: 23 Agustus 2024   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung parlemen Senayan di Jakarta. (Dokumentasi Pribadi) 

Realitas sudah membuktikan, kegaduhan politik bersifat tentatif alias sewaktu-waktu datangnya. Tergantung situasi dan dinamika politik yang tengah terjadi di tanah air.

Pelajaran dari kegaduhan politik tersebut adalah, pentingnya menempatkan ketahanan literasi, agar tidak terjebak dalam post truth informasi. Yakni menyerap informasi dengan pendekatan  perasaan bukan literasi.

Ketahanan literasi tersebut adalah sejauh mana memiliki referensi yang memadai. Serta intuisi dalam mencermati fenomena politik yang terjadi, sehingga punya pendirian objektif dalam merespon kegaduhan tersebut.

Bukan sebaliknya larut dalam hngar-bingar kegaduhan, sembari membangun narasi yang berangkat dari pikiran yang keliru. Dimana dalam buku logika komunikasi disebutkan sebagai sebuah kesesatan pikir.

Adapun kesesatan pikir terbagi dua, yakni kesesatan formal dan kesesatan material. Kesesatan formal terkait dengan kekeliruan bentuk penalaran. Sementara kesesatan material berhubungan dengan isi penalaran.

Dalam berdiallektika di ruang publik terkait kegaduhan politik yang mencuat, saya sering mendapatkan narasi dari lawan dialektika yang berangkat dari ksesesatan pikir. Baik kesesatan secara formil maupun material.

Terbaru terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan pilkada serentak, seorang kawan membangun narasi bahwa, kegaduhan politik yang terjadi bertujuan agar tahapan pelantikan presiden terpilih diundur. Serta masa jabatan presiden Jokowi diperpanjang.

Saya sampaikan bahwa tidak akan terjadi skenario politik tersebut. Karena hal itu inkonstitusional. Tahapan pelantikan presiden terpilih akan tetap sesuai jadwal pada bulan Oktober 2024. Adapun putusan MK soal ambang batas tidak akan bisa direduksi oleh DPR.

Mengingat keputusan MK bersifat final dalam menguji keberadaan Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) sebagaimana kewenangan MK yang diatur dalam UUD 1945 pasal 24C.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline