Lihat ke Halaman Asli

Efrain Limbong

TERVERIFIKASI

Mengukir Eksistensi

Fenomena Klasis Rampi, Otokritik Terhadap Kesenjangan Konektivitas

Diperbarui: 24 Juli 2024   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi medan di perbatasan Sulsel dan Sulteng yang dilewati pemuda Klasis Rampi. | Dokumentasi FB David Charlos Koyo

Fenomena kehadiran pemuda GKST Klasis Rampi Kabupaten Luwu Utara di acara PRPG di desa Tomata Kabupaten Morowali Utara  yang mendapat banyak atensi dan empati di media sosial, sejatinya menjadi sebuah otokritik terhadap kesenjangan yang menjadi realitas.

Kesenjangan (disparitas) tersebut yakni aspek konektivitas yang belum sepenuhnya membuka aksesibilitas transportasi. Yakni antara daerah Rampi di perbatasan Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan lembah Bada Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Kesenjangan itulah yang secara terang benderang dieksplor oleh puluhan pemuda Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Klasis Rampi yang harus berjalan kaki sejauh 36 kilometer selama sehari, demi bisa hadir di acara Pertemuan Raya Pemuda Gereja (PRPG) di desa Tomata provinsi Sulteng.

Bukan sekadar berjalan kaki di medan yang rata, namun melintas gunung, hutan, bukit, tebing curan dan sungai deras yang membutuhkan effort dan perjuangan yang luar biasa. Sebelumnya para Remaja Klasis Rampi juga melakukan hal yang sama, saat mengikuti kegiatan di desa Taripa Pamona Timur.  

Gambaran beratnya medan yang dilintasi tersebut dan viral di media sosial, sukses menarik simpati dan empati bagi Pemuda Klasis Rampi. Bahwa medan berat dan kendala konektivitas, bukan halangan untuk berpartisipasi di event gerejawi.

Namun di satu sisi, menghadirkan rasa prihatin yang mendalam atas potret konektivitas yang berada di jalur trans tengah Sulawesi perbatasan Sulteng dan Sulsel. Prihatin karena jemaat GKST dan warga Rampi, masih harus berjibaku dengan kendala konektivitas yang hingga kini belum teratasi.

Persiapan melintasi jalur sungai. | Dok FB David Charlos Koyo

Potret kesenjangan konektivitas sejatinya bukan hanya di perbatasan Sulteng-Sulsel, namun juga di sejumlah basis GKST lainnya di wilayah Sulteng. Di mana sejatinya memiliki potret realitas kesenjamgan yang menghambat mobilitas publik.

Seperti diketahui wilayah pelayanan GKST yang luas sebagian besar berada di pelosok pedesaan. Di mana ada jemaat yang kondisi aksesibilitas infrastruktur jalannya kurang mantap, sehingga berdampak pada aktivitas dan pelayanan warga dan jemaat setempat.

Jika saja pemuda dari klasis lain turut mengeksplor kondisi aksebilitas yang kurang mantap alias rusak parah di media sosial, maka netizen akan memperoleh referensi dan juga akan memberi atensi yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline