Isu soal pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara mencuat menjadi sebuah dialektika di ruang publik, termasuk dalam debat perdana Calon Presiden (Capres).
Proses pemindahan IKN di Kalimantan Timur sejatinya sudah berjalan sesuai amanat Undang-Undang no 3 tahun 2022. Namun isu pemindahan IKN turut disertakan sebagai konsepsi politik para Capres yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres).
Dari tiga Capres, dua figur secara tegas menyatakan akan melanjutkan program IKN. Yakni Capres Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Sementara Capres Anies Baswedan terkesan 'menolak' melanjutkan program tersebut.
Adanya dialektika terkait konsepsi politik soal pemindahan IKN diantara para Capres, tentu berimplikasi pada masa depan IKN. Apakah akan terus berlanjut, atau terhenti pembangunannya. Ini tergantung pada pilihan rakyat dalam Pilpres nanti.
Inilah pertaruhan bagi keberadaan IKN Nusantara kedepan. Sekaligus pertaruhan bagi elektabilitas bagi Capres yang menawarkan konsepsi politik, soal pemindahan IKN dalam kontestasi Pilpres.
Pertaruhan ini akan terpulang ke rakyat Indonesia, apakah sepakat dan mendukung Capres yang melanjutkan program IKN. Atau sebaliknya, mendukung Capres yang akan menghentikan pemindahan IKN.
Dalam alam demokrasi, sah-sah saja berbeda konsepsi politik dan pilihan politik. Namun yang tidak boleh dilupakan dalam berdemokrasi, rakyat harus senantiasa dicerahkan dalam dialektika pemindahan IKN. Agar punya wawasan dan informasi yang tepat soal isu tersebut.
Karena dalam sebuah dialektika di ruang publik, terkadang menghadirkan respon berbeda. Ada yang meresponnya dengan pendekatan literasi, namun ada juga yang merespon dengan pendekatan perasaan.
Tentu kita berharap dialektika tersebut direspon dengan pendekatan literasi, agar bisa selaras terkait isu pemindahan IKN. Ini juga pertaruhan apakah sebagian besar rakyat Indonesia melek soal IKN atau sebaliknya minim literasi.
Dialektika Pemerataan Ekonomi