"Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyarakatkan bahwa untuk memulihkannya, kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru."
-Yudi Latif-
Adagium dari mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI tersebut, dikutip dari tulisan berjudul Relevansi Pancasila Dalam Hidup Kekinian yang termuat dalam buku Nilai Keindonesiaan. Diterbitkan oleh penerbit buku Kompas tahun 2017.
Dalam tulisan tersebut, Yudi Latif mengutip ancaman lima krisis yang ditenggarai oleh Bung Karno tahun 1952. Pertama, krisis politik. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral dan kelima, krisis kewibawaan (otoritas).
Menjelang tahun politik 2024 ancaman lima krisis tersebut semakin menjadi, jika direlevansikan dengan kondisi konstelasi politik saat ini. Di mana diwarnai dengan rivalitas kontestasi yang semakin biner dan mendegradasi.
Ironisnya, justru yang terlibat rivalitas secara biner tersebut adalah mereka para elit politik yang seharusnya menjaga stabilitas politik dan demokrasi berlangsung secara egaliter dan guyub.
Namun justru para elit politik semakin terang benderang mengumbar narasi-narasi yang saling mendegradasi di ruang publik, lewat berbagai instrumen media massa maupun media sosial.
Lebih ironis lagi terjadi di tingkat grassroots. Di mana publik juga intens menggerus bahkan menjustifikasi person, kelompok, parpol hingga kandidat tertentu lewat narasi maupun konten yang antagonistik.
Ancaman lima krisis yang disebut oleh Yudi Latif dalam tulisannya, telah disadari bakal memunculkan kekhawatiran. Di mana publik bukan saja tidak percaya lagi pada proses demokrasi di negara ini.
Lebih dari itu menjadikan momen kontestasi politik, sebagai ajang menyalurkan ekspresi ketidaksukaan secara tidak terkendali. Sebagai bukti lihatlah di media sosial. Di mana momentum kontestasi politik bukan lagi menjadi sarana pendidikan politik, tapi polarisasi politik.