Salah kaprah dalam pemanfaatan lahan tanah untuk kepentingan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) atau untuk kepentingan umum lainnya, adalah ketika hanya berorientasi pada sukses konstruksi, hukum dan utilisasi atau manfaat semata. Satu hal yang sering terabaikan adalah, sukses komunikasi yang dapat meminimalisir timbulnya permasalahan yang menjurus pada terjadinya konflik sosial.
Dalam berbagai konflik tanah yang terjadi di Indonesia termasuk yang terbaru di Desa Wadas Kabupaten Purwerejo, pengabaian terhadap aspek komunikasi inilah yang berpotensi memicu timbulnya konflik antara masyarakat serta aparat hukum di lapangan. Miss komunikasi akibat saluran komunikasi yang tertutup atau tidak nyambung, mernimbulkan kesalapahaman yang mengarah terjadinya konflik sosial di tataran praksis.
Jika merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 86 tahun 2018 Tentang Reforma Agraria, maka yang terjadi di Desa Wadas sejatinya sudah masuk kategori konflik tanah. Yakni perselisihan agraria atau tanah antara orang perorangan, kelompok, organisasi, badan hukum atau lembaga yang sudah berdampak luas secara sosial, politis, ekonomi, dan budaya.
Pertanyaannya adalah, seperti apa bentuk komunikasi yang dilakukan pihak terkait dalam mensosialisasikan keberadaan pembangunan PSN berupa Bendungan yang akan dilakukan di lokasi tersebut. Dan seperti apa bentuk pendekatan yang dilakukan oleh pihak terkait agar terbangun paradigma yang sama, sehingga menghindarkan terjadinya konflik sosial.
Sebuah pertanyaan sederhana, namun harus diakui tidak mudah untuk dilaksanakan, guna memuluskan pembangunan PSN, kepentingan umum atau investasi yang melibatkan pemanfaatan tanah yang bersentuhan dengan masyarakat. Namun sesungguhnya sangat esensial, jika terbangun komunikasi yang efektif antara pihak pihak yang berkaitan, sehingga tidak terjadi konflik di lapangan.
Terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, telah diatur dalam UU No 2 tahun 2012 pasal 27 ayat 1. Dimana menyebutkan, pelaksanaan pengadaan tanah meliputi, inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Serta penilaian ganti kerugian, musyawarah penetapan ganti kerugian, pemberian ganti kerugian dan pelepasan tanah instansi.
Dari semua tahapan di atas, maka kata kuncinya terletak pada adanya pola komunikasi diantara para pihak. Yakni komunikasi yang dilakukan secara dua arah antara pihak kelompok masyarakat dengan Pemerintah atau Instansi selaku pelaksana kegiatan. Atau juga antara kelompok masyarakat dengan Badan Hukum atau Perusahaan yang melakukan kegiatan investasi.
Karena tidak mudah merealisasikan setiap tahapan tersebut, hingga terlaksana pembangunan fisik proyek, justru yang mencuat adalah masalah ke masalah lainnya.
Dalam banyak kasus di tanah air termasuk juga di Sulawesi Tengah, adanya konflik antara masyarakat dengan Pemerintah maupun dengan Investor yang melakukan pembangunan proyek maupun investasi karena komunikasi yang gagal.