Lihat ke Halaman Asli

Teror

Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Efraim Mbomba Reda

            Sewaktu peluru menembus perut Santoso dikabarkan, masyarakat seperti dibius oleh kekalutan, terhenyak di dalam ketakutan. Belenggu trauma terhadap teror seketika melayang, terbang menembus awan. Wajah – wajah yang awalnya mendukung operasi militer itu tiba – tiba pucat dibias sinar kegelisahan. Sebab, apa yang diharapkan mereka telah terjawab, tetapi menyaksikan tangisan mengelilingi pemakaman Santoso, masyarakat kembali lunglai. Semua orang yang menyaksikan menempatkan diri sebagai orang terdekat Santoso, yang tak merelakan kepergian itu.

            Ketika sebuah bangsa di dalam letak geografisnya terpisah – pisah dengan pulau – pulau lainnya, terkadang hanya duka dan bencana yang mampu menyatukan semua dan membuat banyak orang saling berbelasungkawa. Mungkin karena merasa sensib.

            Tetapi sebagai anak bangsa, aku tetap memelihara kesadaranku agar aku tetap terjaga kalau bangsaku dalam perjalanan masa lalunya telah menunjukan ‘kerendahan diri.’ Bangsa dalam sejarah masa lalunya juga telah mewariskan kepada anak cucunya etika kaum pelayan. Bangsa kita beratus tahun dibesarkan dengan cara berpikir budak. Ketergantungan penuh kita ditunjukan pada keagungan tak terhingga pada kebudayaan barat. Kemerdekaan kita masih sebatas kata.

            “ Aku berdoa agar kelak, anak yang aku kandung ini dapat berguna bagi nusa dan bangsa. Tidak seperti Santoso.”

            “ Kau terlalu berharap Bu, yang terjadi di dalam dunia ini kerap tidak seindah yang kita inginkan.”

            “ Maksudmu, aku tidak mampu mendidik anakku seperti yang aku harapkan? Kau meremehkan niat dan keyakinanku?”

            “ Aku tidak bermaksud membunuh harapanmu Bu, tetapi sadarkah kau bahwa ungkapanmu di atas hanyalah usaha untuk mendamaikan dirimu sendiri?”

            “ Tidak seperti itu, sedikit tetapi tidak sepenuhnya salah. Aku hanya berharap sebagai manusia kau mampu menemukan kekosongan yang membebaskan.”

            “ Kau kira kenyataan yang kau saksikan itu benar – benar sebagai sebuah kenyataan? itu yang membuat kau menjadi apatis. Kau pasti akan bertanya apakah dengan harapan itu aku akan menjadi bahagia? Iya, kedamaian yang kau pelihara di dalam dirimu lebih nyata dari tragedi Santoso yang kau saksikan.”

            “ Aku kira kau tidak takut terhadap dunia kan?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline