Lihat ke Halaman Asli

Sekar

Diperbarui: 11 Juni 2016   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SEKAR

Oleh : Efraim Mbomba Reda

Lembayung senja berdiri tegak pada dada dermaga, akankah dia hanya milik para pujangga? Wanita perkasa berjejer di pinggir stigma kehidupan yang menjual gairah dan desahan, akankah mereka hanya milik para seniman? Atau beribu budaya yang berbaring lemas dalam lembah kemajuan, mungkinkah persoalan itu hanya milik budayawan? Politisi yang kerap menelanjangi legalitas, apakah mereka hanya tanggungjawab Negara? Kita rupanya terpisah – pisah. Melintas ruang, waktu, dan kemawaktuan.

Babak sejarah sedikit banyak telah dilintas, dari imperialisme bangsa asing kita meyambut hidup baru yang penuh pencerahan. Di dalam genggaman kebebasan yang berasaskan kebebasan, muncul tragedi baru yang lebih makan hati. Kemerdekaan rupanya melahirkan sejarah baru yang lebih menindas dari pada imperialism sistem tanam paksa.

Realitas rupanya tidak murni merdeka, masih campur aduk dengan banyak peristiwa yang memeras perasaan. Di tengah berbagai macam derasnya pertentangan ideologi dan kepentingan politik, generasi muda hadir sebagai korban dari kelelahan ideologi.

Adakala ada benarnya juga jika aku mengatakan kalau dasar kecerdasan adalah gerak pikir, sebab gerak pikir yang melampaui waktulah yang akan memberikan sedikit kelegahan akan kemenangan. Sedangkan gerak pikir yang berjalan bersama waktu hanya mampu menginspeksikan diri di dalam zona aman, tetapi tidak mampu memproduksi.

Hidup entah dengan ototitas kesenjangannya mempertemukan aku dengan seorang wanita yang sedang duduk di warung kopi di sisi jalan, hanya beberapa meter dari kosku. Awalhnya, aku hanya ingin membeli sebungkus rokok dan kopi untuk menjadi temanku demi menembus malam itu dengan beberapa ide yang mendesak di dalam benak. Dalam keadaan seperti ini, nikmat sekali untuk menulis cerpen dan melahirkan beberapa sajak sebagai anak jiwa, yang lahir dari keintiman serta pergulatan hakikat.

Tidak tahu dirasuki oleh setan apa, setelah membeli sebungkus rokok sempurna aku sesaat melepas lelah di warung kopi itu. Aku pada akhirnya membakar sebatang rokok. Persis ketika aku nyalakan api rokok, wanita itu memintanya sebatang. Aku terperangah, sebab tidak biasa melihat wanita sehaus itu pada nikotin.

Wajahnya lelah bercampur penat, seakan ada suatu hal yang tersendat di dalam benak. Kuperhatikan tarikan pertama asap tembakau itu, dia menghembuskan dengan perasaan yang membebaskan. Kegelisahan itu hilang di dalam wajahnya bersama sebuah seni yang dibungkus bersama senyuman yang dia lemparkan. Artistik sekali wanita itu. Aku membatin.

“ Sepertinya kau tidak tinggal di kompeleks ini!”

Aku membuka percakapan. Dia masih belum menatapku, seakan tidak mendengar apa yang telah aku katakana. Binar matanya masih bebas mengembara, serupa menemani tembakau itu dengan hayalan – hayalan kecilnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline