[caption caption="Ilustrasi: ilovehdwallpapers.com"][/caption]Realitas benar-benar kelabu. Hati kita boleh kuat dan tangguh untuk hadapi hidup. Namun, tak dapat disangkal kalau pada kenyataannya, hidup punya banyak kehidupan. Oleh karena itu, jika melihat seseorang yang sangat menikmati sekali sakitnya hati, jangan tanyakan mengapa. Karena itulah kenyataan. Hidup punya banyak kehidupan. Khalil Gibran, penikmat sakit hati yang paling ulung. Kenikmatannya melampaui kebahagiaan kehidupan cerita cinta insan beriman yang sangat sejahtera.
Entah mengapa, bahagia itu sangat absurd untuk ditelaah. Cinta begitu sulit dijelaskan. Sudah beribu seniman yang tak bosan-bosannya menggubah karya lantaran cinta yang tak terjelaskan itu. Mungkin, itulah hidup, kelabu. Malang-melintang kabut tidak menentukan insan telah menyetubuhi kemisteriusan hidup. Manusia tidak bisa semena-mena karena kenyataan yang datang mencekam. Kurasa, jika semakin kita menjunjung kesempurnaan, realitas akan semakin bias.
Meski demikian, manusia adalah makhluk yang punya bebal sangat kental. Suka sekali mengadu hidup. Nyawa dijual untuk membayar hasrat. Wibawa dipampang murah untuk membeli cinta. Lantaran, makhluk seperti manusia apakah layak untuk mengatakan hidup ini anugerah ataukah sebaliknya? Dunia terlalu mistis, eksotis, serta pedih untuk diteliti dengan cerdik hari demi hari. Kenapa tidak punahkan saja? Apa kita punya daya, suara hati mengejek. Ah, sudahlah itu hanyalah perasaan yang terbang. Biarkan saja dia menghilang.
Tetapi omong-omong tentang manusia, cinta, kerumitan, dan ketidakmasukakalan lainnya, sebenarnya tidak pantas untuk dibukukan dengan keegoan. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah menceritakan kisah dengan canda, air mata, berdramaturgi dengan aksesoris perasaan lainnya. Yang disimpulkan adalah sebagian kecil dari yang tidak terkatakan.
Realitas buruk lainnya adalah realitas yang tidak aku mengerti waktu awal aku berjumpa. Aku punya teman seorang yang penampilannya cukup elegan untuk seusia kami. Sebenarnya tidak juga sih, hanya keangkuhannya itu yang melunturkan semua ketidaksempurnaan yang dia punya. Kita sering berjumpa, manusia-manusia yang sombong sebenarnya takut untuk terbuka. Anton adalah salah satunya. Namun, setelah aku telusuri lebih dalam semakin aku tidak menemukan apa-apa. Bagi orang-orang yang kalau suatu saat berjumpa anak ini, emosi pasti tidak bisa dibendung. Mencuat dengan derasnya.
Anak ini bukan keturunan Dewa Siwa. Dia tidak bermaksud mendekonstruksi segala ketulusan yang sudah sangat megah didirikan di dalam jiwa manusia. Dia tidak bermaksud melunturkan semua perbendaharaan bahasa kebaikan, kesederhanaan, yang sudah disusun dalam rak kepribadian dengan susah payah. Dia tidak bermaksud membendung opini publik dengan senang hati dan tetap bergembira dalam sinisan yang komprehensif. Dia juga tidak bermaksud merusak pemikiran konservatif umat manusia. Tetapi dialah dia, anak Fakultas Hukum yang walau dalam obrolan biasa selalu menggunakan bahasa-bahasa ilmiah, anehnya dalam diskusi ilmiah Anton lebih banyak diamnya.
Anton memang bagian dari orang-orang yang pasti direkam oleh sejarah, diliput oleh media, terpampang di depan layar kaca, dibicarakan dalam diskusi-diskusi ilmiah, dan punya pengikut-pengikut nantinya, setara dengan Marx, Tan, Hatta, dan tokoh besar lainnya. Itulah Anton, selalu berbeda dalam cara pandang. Dalam ranah politik, Anton ini layak disebut provokator. Tidak peduli pada seberapa besar kekuatan yang ia bawa, Anton menghantam tembok kekuasaan yang semena-mena dengan kebenaran. Bermodalkan badan, nyali, napas, serta bahasa-bahasa ilmiahnya, Anton tidak takut menghadapi serdadu berpeluru seribu. Anton maju, serbu, darahnya mengalir bunuh, untuk para pengacau.
Dengan demikian, jika selamat dari perjuangannya menghancurkan seluruh ketidakadilan, Anton tetap menjadi orang yang punya banyak penggemar tetapi sedikit sanak-saudara maupun teman dekatnya. Pulang dari perang Anton akan dihidangkan gadis-gadis cantik yang centil, Anton akan ditiduri putri cantik anak Peri Kemanusiaan, Anton akan tidur berselimutkan uang, karena Anton adalah pangeran yang gagah berani, gilang-gemilang, gegap-gempita, yang sangat layak untuk diperlakukan demikian. Karena jika tidak, Anton tidak ngotot tanpa cukong, namun elite-elite politik akan merasa berdosa untuk melihat perjuangannya sebagai keikhlasan. Maklum, orang–orang politik, tawar-menawar harga diri, keputusan adalah barang dagang.
Untuk kemanusiaan, Anton akan pragmatis memperjuangkan keadilan. Ketika orang menjunjung tinggi dirinya Anton akan marah, Anton akan mengalienasikan diri ke tepi pantai. Anton tidak suka jika orang-orang memujinya. Anton akan memaki-maki orang yang mengikutinya. Namun, Anton pada saat yang bersamaan disenangi banyak orang. Anton pembenci manusia namun memperjuangkan keadilan untuk manusia.
Betapa menyebalkan sekali untuk mengerti tentang Anton. Tidak ada guna mencari psikiater untuk menanyakan bahwa Anton ini manusia gila nomor keberapa. Tidak ada guna lagi untuk meneliti dengan ilmu kedokteran, ke laboratorium untuk mendeteksi penyakit apa yang diderita anak ini. Tidak ada guna, karena Anton tidak ada dalam daftar penyakit jiwa yang dimiliki psikiater sepanjang zaman, serta tidak ada daftar penyakit ilmiah yang terdaftar dalam otak para dokter. Anton tidak bisa dipahami, dan tidak bisa diteliti. Dunia pun tidak sanggup untuk mengerti.
Ironisnya, jika bicara tentang wanita. Wajah Anton akan merah padam. Malu-malu. Setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Bagiku, Anton ini sang pendulang malu. Saking seringnya bertemu malu, dia tidak tahu bagaimana rasanya malu. Anton punya beberapa teman wanita. Anton adalah teman yang tidak sadar aku di mana saat kali pertama berjumpa dengannya.