Lihat ke Halaman Asli

Cenat-Cenut Perpajakan Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1300419089987414098

Sepanjang tahun 2010, nama Gayus menggaung tak henti-hentinya di berbagai media massa di Indonesia. Uang 28 Milyar di rekening seorang pegawai pajak golongan 3A yang baru bekerja 10 tahun memang hal yang tak wajar. Bahkan kabar terakhir yang saya dengar uang di rekening Gayus mencapai lebih dari 100 Miliar. 30 maret 2010 gayus ditangkap di hotel Mandarin Meritus Orchard Singapura beserta istri anaknya. Sejak saat itu namanya semakin membahana, memenuhi setiap headline surat kabar di Indonesia. Jika sekarang saya bertanya, “Siapa yang tak tahu Gayus?”, maybe I will get an answer “NOONE”, everyone knows him so well!!!

Maraknya kasus Gayus membuat saya memainkan keyboard laptop, menulis sepenggal ungkapan kalutnya hati seorang mahasiswa PTK. Just because Gayus pun lulusan PTK, lebih spesifiknya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Awalnya saya tak begitu peduli tentang kasus seorang Gayus Tambunan. Tapi, saya yakin tak sedikit orang yang jengkel jika melihat berita di salah satu TV swasta yang sering melebih-lebihkan berita dan semakin memperkeruh suasana. Saya iba, pemberitaan sampah seperti itu disiarkan setiap hari bertubi-tubi hingga masyarakat pun mulai terkena pengaruh negatifnya. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 240 juta. Dengan tingkat kepercayaan 95% saya yakin lebih dari 65% penduduk Indonesia terpengaruh berita sampah dan menganggap semua pegawai pajak adalah koruptor. Parahnya STAN diidentikkan dengan Gayus, tempat dulu seorang koruptor menimba ilmu. Atau paling tidak mereka akan mengeneralisir pegawai pajak adalah penggerogot uang rakyat sama seperti anggota DPR. Dan akhirnya banyak masyarakat mengabaikan orang-orang jujur dan bersih, yang tenggelam oleh bejatnya moral pegawai yang terkena kasus korupsi.

Ironis memang, bahkan terlalu menyakitkan. Terlebih saat saya membaca berita on-line yang mengutip kata-kata ketua KPK Abdullah Hehamahua yang mengatakan sebanyak 60% dari 4 juta PNS adalah koruptor. Saya masih ingat betul, 6 Oktober 2008 saya dan ayah saya menandatangani Surat Perjanjian Ikatan Dinas Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Itu artinya, saya sudah harus menyiapkan mental karna setelah lulus nanti saya akan menjadi seorang PNS. Saya harus bekerja ditengah-tengah sebuah populasi manusia yang lebih dari separuhnya adalah koruptor--dengan syarat jika memang perkataan ketua KPK tersebut terbukti benar--. Sesaat saya menghela nafas, melayangkan pikiran jauh ke masa depan. Bagaimana saya harus berjuang mendapatkan rizki yang halal, murni dari hasil keringat saya sendiri. Jika memang saya nanti menikah dengan pegawai negeri juga, saya menanam janji dalam diri untuk terus mengingatkan suami saya untuk menjadi pegawai yang jujur. Idealis memang, tapi bagi saya, melakukan korupsi sama saja dengan menghina agama yang diyakini.

Bagaimana dengan Hekinus Manao??? Pamor Gayus memang sangat jauh berada diatas seorang Hekinus Manao, padahal Hekinus adalah mahasiswa PTK yang sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif World Bank di Amerika Serikat.Sebut juga Iwan Jaya Aziz, keduanya ekonom asal Indonesia yang diakui dunia. Keduanya lulusan PTK, keduanya sama-sama hebat dan sangat dihormati di luar sana. Ironinya, justru sedikit sekali masyarakat Indonesia yang mengetahui siapa mereka. Sekali lagi saya katakan, berita di media lebih sering membahas bobroknya bangsa Indonesia. Dalam sehari, peluang munculnya berita positif dibanding berita negatif adalah 1:8. Mungkin memang rating berita negatif lebih tinggi di negara ini, tak bisa dipungkiri berita miring lebih banyak menyedot perhatian masyarakat.

Kasus Gayus tak ubahnya seperti sinetron Cinta Fitri yang tak kunjung selesai. Seharusnya kasus korupsi macam ini tak hanya kita dengarkan dengan telinga, tapi cobalah dengarkan dengan hati. Kehancuran suatu negara bergantung pada manusia yang mendiami wilayah negara tersebut. Satu dua kecacatan yang tak segera diatasi, bakal memberi efek domino yang akhirnya meluas kemana-mana. Gayus hanya satu dari ratusan atau bahkan ribuan koruptor di Indonesia. Ya Tuhan, apa negara ini butuh penjara khusus koruptor? Terlalu banyak manusia serakah yang gila harta. Atau BPS butuh melakukan sensus baru selain sensus Penduduk, sensus Ekonomi, dan teman-temannya? Mungkin namanya Sensus Tahunan Koruptor Besar dan Sedang Indonesia dan Survei Triwulanan Koruptor Kecil dan Kelas Teri. Bisa dibuat publikasi koruptor menurut jenis kelamin, menurut jumlah dan jenis uang yang dikorupsi, atau bahkan menurut frekuensi perjalanan mereka ke luar penjara alias kabur sejenak dari bui. Berapa proporsi terpidana yang kabur ke domestik dan ke luar negeri. Bisa juga dibuat model peramalan uang negara yang menguap akibat ulah pegawai nakal semacam Gayus setiap tahunnya.

Oke, saya memang bukan pengamat hukum atau anggota ICW yang sering muncul di TV membahas kasus korupsi di Indonesia. Ini hanyalah tulisan seorang mahasiswa tingkat 3 Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Mahasiswa jurusan Statistika Ekonomi yang berduka akan semakin runtuhnya nilai-nilai Pancasila yang harusnya tertanam dalam sanubari warga negaraIndonesia. Setiap tahun negara ini mengalami kerugian akibat mafia pajak rata-rata 300 Triliun per tahun. Bisa dibilang setiap tahun ada sekitar 10.714 gayus-gayus yang melakukan korupsi, dengan asumsi satu gayus mengantongi 28 Miliar. Itu jika satu gayus sama rata mengkorupsi 28 Miliar, padahal banyak gayus lain yang tak tercium bau busuknya karna korupsinya pun masih teri bahkan anaknya teri. Wah, kalo gitu bisa lebih banyak lagi jumlah gayus-gayusnya. Baru mafia pajak saja sudah puluhan ribu koruptor, belum dijumlahkan dengan koruptor dari lembaga pemerintahan lainnya. Apabila hukum di Indonesia benar-benar ditegakkan, mungkin pemerintah harus menambah anggaran belanjanya untuk membangun penjara khusus koruptor a.k.a Apartemen “Gayus dan Rekan”.

Mungkin banyak sekali alasan kenapa hukum di Indonesia terkesan kurang tegas dan mengikat. Masih ingatkah Kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo? Salah satu cerminan rapuhnya kekuatan hukum di Indonesia. Kerusakan lingkungan dan penanggulangan akibat semburan lumpur yang harusnya ditanggung oleh PT Lapindo Brantas milik Bakrie Group malah dipaksa untuk dibebankan pada APBN. Lucu sekali memang, sedih saya mengingat perjuangan Sri Mulyani yang dengan tegas mengatakan tidak ada anggaran APBN 2006 dan 2007 untuk menanggulangi lumpur Lapindo. Perusahaan milik Bakrie bak jamur di musim hujan yang jumlahnya menganak cucu. Banyaknya modal yang ditanamkan Group Bakrie di Indonesia membuat Bakrie seolah seperti Dementor alias Pelahap Maut. Saat menjabat sebagai Menko Kesra dia seenaknya menghentikan saham Grup Bakrie di BEI saat saham-sahamnya mengalami kemerosotan harga akibat krisis finansial global. Saat itu hanya mantan Menkeu Sri Mulyani yang dengan tegas berani menjegal ulahnya. Saya begitu amat tertarik membahas Ical, jauh sebelum namanya disebut-sebut terkait dengan kasus korupsi Gayus Tambunan.

PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin. Tiga perusahaan milik Grup Bakrie yang diungkap Gayus dalam persidangan di PN Jakarta Selatan. Saya bertanya-tanya, jika memang benar tiga perusahaan milik Grup Bakrie yang disebut Gayus terbukti melakukan pelanggaran pembayaran pajak, apa yang akan terjadi? Apa keuntungan dan kerugian yang akan di dapat negara? Hmmm.. Saya pernah membaca buku yang memaparkan sepak terjang Sri Mulyani Indrawati selama menjabat sebagai Menteri Keuangan RI. Sebelum kasus Gayus terungkap, Kementrian Keuangan telah menemukan adanya kejanggalan pembayaran pajak dan royalti oleh 3 perusahaan besar milik Bakrie tersebut. Sejak tahun 2001, Bakrie Group telah menunggak pajak lebih dari 2 Triliyun. Tak heran jika sewaktu sidang Gayus menyebut ketiga perusahaan besar milik Bakrie karena wajib pajak lebih untung menyuap petugas pajak 100 Miliar dibanding membayar pajak yang harusnya dibayar 2 Triliun. Ical memang pernah tercatat sebagai orang terkaya se-Asia tahun 2007 versi majalah Forbes dengan kekayaan mencapai lebih dari 50 Triliyun. Pasca Krisis Finansial Global yang bermula dari Sub-Prime Mortage di Amerika pada Oktober 2008, kekayaan Ical menguap sekitar 90% menjadi 9,3 Triliun. Atas tuduhan Sri Mulyani terkait pembayaran royalti kepada negara sebesar 2 Triliyun itu, Ical lalu gencar menuduh Sri Mulyani untuk segera diperiksa terkait kasus Bailout Bank Century. Akhirnya negara ini disibukkan dengan kasus yang juga menyeret nama wapres Boediono yang dituduh beraliran neolib. Dan akhirnya lagi-lagi laki-laki cerdas nan cerdik itu pun lolos dari jeratan hukum, kekuasaan dan kecerdasan berpolitik Ical membuatnya pantas dijuluki The Lucky Man. Karena jika terbukti bersalah maka Ical harus membayar royalti 4 kali lipat dari seharusnya. Hasil perkawinan pengusaha dan penguasa macam Ical tak akan mungkin mau untuk membayar 8 Triliyun saat kekayaannya hanya berkisar 9,3 Triliyun.

Seandainya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia membayar pajak sesuai dengan semestinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pasti akan lain ceritanya. Saya baru tahu kalau PT Freeport pajaknya mencapai 17 Triliyun setiap tahunnya, angka yang fantastis bukan? Itu baru satu perusahaan saja, belum perusahaan besar yang lainnya yang ada di Indonesia. Dengan angka sebesar itu, tak heran jika pajak menyumbang sekitar 70%-75% terhadap APBN. Dibalik kasus Gayus Tambunan, Reformasi birokrasi di Dirjen Pajak telah sedikit banyak membuahkan prestasi yang memukau. Dalam Laporan Keuangan Indonesia tahun 2008 dan 2009, grafik kontribusi sektor pajak mengalami ekspansi lebih dari 80%. Saya salut, prestasi tersebut dicapai ditengah keterpurukan ekonomi di berbagai negara di belahan dunia akibat krisis finansial global. It means that ada hal lain yang perlu dilihat dan diapresiasi selain kata KORUPSI yang sudah sangat akrab di telinga kita. Ada sisi negatif pasti ada sisi yang positif. Walaupun terkadang sisi negatif lebih banyak diungkit oleh publik dibandingkan sisi positifnya. Adanya kasus semacam ini harusnya hati kita juga ikut mendengarkan, bukan hanya telinga kita. Selama ini publik men-judge buruk sistem perpajakan di Indonesia. Hanya dari kabar yang beredar di berbagai media yang akhirnya membuat masyarakat kebanyakan memandang buruk orang-orang yang bekerja sebagai pegawai pajak.

Saya memaknai krisis kepercayaan masyarakat ini sebagaimana mispersepsi masyarakat terhadap kebenaran data yang dipublikasi BPS. Instansi tempat saya nanti ditempatkan setelah lulus dari STIS sedang gencar dituding memanipulasi data kemiskinan Indonesia. Apa yang anda rasakan jika anda dituduh melakukan penyimpangan oleh orang yang belum meminta penjelasan kepada anda tentang apa yang terjadi? Agak aneh memang, tapi inilah kehidupan. Kalau berbicara angka, kita harus mengenali dulu konsep perhitungan dan prosedurnya supaya kita membahas suatu hal berdasarkan fakta sebenarnya. Berbicara pajak, kita juga harus memahami alur kemana uang pajak yang kita bayarkan supaya kita tak melulu menggerutu saat harus mengeluarkan uang  untuk membayar pajak. Berbicara korupsi, kita harus memaknai dengan benar setiap celah yang ada di setiap tubuh instansi sebagai tantangan untuk menuju masa depan yang lebih baik. Celah pengembang karir dan celah penghempas karir. Antara kejujuran dan moral hazard. Semua tergantung diri kita sendiri, bagaimana melihat sesuatu dan bagaimana menyikapinya. Tetapi jangan pernah melupakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. Jika ada keburukan, maka sudah dapat dipastikan ada kebaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline