Rumput tetangga nampak lebih hijau teratur pula,penghuninya hanya seperti anak-anak saja, yang bermain di halaman dengan selang airnya,ibunya tiada pernah kemana-mana atau menampakkan muka
Rumput tetangga dengan rumah berbalkon lantai tiga,masih tercium bau cat warnanya,membuat yang lainnya terkesima dan membungkuk-bungkuk karenanya,megah menjulang di antara tetangga,membuat terkesima yang lainnya
Lalu suatu malam para tetangga terhenyak karenanya,suara anak-anak tetangga berteriak histeria,tetangga berdatangan semua,seseorang berusaha meloncat dari balkon lantai tiga karena putus asa
Baginya mentari tak pernah muncul kala pagi hari,rembulan tak pernah menyinari kala malam hari,bisikan untuk mengakhiri diri,sesuatu yang kuat dia yakini bahkan tak mampu dirinya berserah diri,terlalu dinaungi kabut hati
Lalu tetangga heboh gegap gempita,menggelar kasur di bawahnya,berusaha mendobrak pintu lantai atasnya,tangisan anak-anak masih membahana,berakhir baik-baik saja
Rumput tetangga barangkali tidak selalu seelok yang seperti kelihatannya,lampu luar terlalu terang dan benderang,menutupi kegelapan yang berdiam di dalamnya,semua tentang penderitaan dan ketangguhan yang menolak untuk tetap membentengi hati
Mentari kembali bersinar kala pagi hari dan bulan kembali menyinari para pemancing ikan di malam hari,tatkala kekuatan untuk bangkit menghampiri dan mengoles semua luka meski perlahan-lahan dijalani
Puisi imajinasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H