Lihat ke Halaman Asli

UN Mencetak Produk Kamuflase?

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kembang kempis dada para pelajar akhir-akhir ini. Pekan ini jika tidak ada penundaan, pengumuman kelulusan pelajar sekolah menengah atas akan dikumandangkan. Selanjutnya menyusul pengunguman kelulusan pelajar sekolah menengah pertama pada bulan Juni.

Bulan April lalu, pemerintah menyelenggarakan pesta pendidikan nasional. Peserta didik yang telah menempuh pendidikan; enam tahun bagi pendidikan sekolah dasar, tiga tahun bagi pendidikan menengah dan atas menjalani ujian untuk kelulusan mereka. Ujian nasional nama pesta pendidikan itu.

Berbagai persiapan telah dilakukan jauh-jauh hari. Pemerintah telah menganggarkan dana yang tidak sedikit untuk pelaksanaan ujian nasional. Namanya juga pesta. Pesta tidak kecil-kecilan. Ini pesta nasional, dari sabang sampai merauke, baik perkotaan atau pinggiran.

Namun ada kegelisahan yang mengusik setiap –semenjak-- pesta pendidikan nasional ini dijadikan sebagai syarat kelulusan siswa. Indikator minimum kelulusan yang tiap tahunnya dinaikkan membuat pihak sekolah, orang tua, dan siswa resah gelisah. Belum lagi bagaimana peserta didik yang tidak lulus seperti diterpa rasa malu hingga tekanan frustasi.

Dari sanalah kemudian, tidak ada yang tidak mau mengalami ketidaklulusan sebuah ujian nasional. Pihak sekolah tidak mau memiliki banyak siswa yang tidak lulus. Pihak dinas setempat berlomba-lomba dalam kuantitas atau prosentase siswa yang lulus. Ketidaklulusan siswa bagi pihak sekolah dan bagi dinas setempat seperti aib. Kelulusan menjadi prestise dan bumbu-bumbu pamor semua pihak terkait. Sebaliknya, ketidaklulusan menjadi aib dan musibah yang ingin dielakkan semua pihak tersebut.

Apapun caranya yang penting lulus. Barangkali menjadi sugesti antara meraih kelulusan dan menolak ketidaklulusan. Sugesti ini kerap diaplikasikan dalam tindak-tindak yang irasional. Saya tidak mengeyampingkan do’a dan ketawakalan sebagai manusia yang tiada daya. Sebagai Muslim, tawakal dan do'a itu penting dan wajib. Saya hanya menunjuk tindak-tindak yang disangka bisa mencapai tujuan, semacamklenik dan sejenisnya.

Menjadi problemnya adalah, ketika tindak-tindak irasional yang dilakukan itu kemudian pada hasilnya dipandang sebagai sesuatu yang rasional. Misal kalau saja ada siswa yang sama sekali mengandalkan unsur mistisnya lalu lulus, maka apakah ia dinilai sudah lulus dengan bekal pembelajaran akademiknya?

Problem lain yang tidak kalah mirisnya adalah kamuflase, skenario berbagai pihak yang terlibat. Entah kementrian, dinas setempat, sekolah dan siswa. Menyinggung tentang gengsi dan aib di atas tadi, maka satu cara dari skenario itu adalah pembocoran kunci jawaban. Dari tangan ke tangan kemudian sampailah bocoran kunci jawaban tersebut. Kalau seperti ini, bagaimana penilaian kelulusan tersebut?

Saya tidak bermaksud menggeneralisir semua peserta pesta pendidikan nasional bertindak seperti yang ditulis di atas. Namun mari kita bayangkan tentang dampak laten dari pesta pendidikan nasional yaitu pengkamuflasean. Bahkan tidak mustahil pesta pendidikan nasional ini menjadi semacam mesin kamuflase.

Ibaratnya, generasi negeri ini dimasukkan dalam sebuah mesin kamuflase, lalu diaduk-aduk di dalamnya. Apa yang terjadi kemudian adalah lahirnya produk-produk kamuflase yang bertebaran di setiap tempat. Lulus dengan kamuflase. Keliatan banyak generasi yang cerdas, tapi hasil kamuflase. Malangya negeri ini karena terjadi yang demikian.

Selesai, 30/4/2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline