Lihat ke Halaman Asli

Merdeka: Persepsi dan Sugesti

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan yang delay terposting, karena sakit menjemput lebih cepat. Apaan?! Hanya berbagi.

Kata merdeka mengudara di mayapada nusantara. Di dunia maya maupun dunia nyata, merdeka menjadi topik hangat. Dari tengah malam, pagi, siang, sore pengguna sosial media seakan wajib menuliskan ucapan, harap dan do’a menyambut peringatan kemerdekaan.

Seremoni tahunan, penaikan bendera merah putih diselenggarakan. Khidmat. Anak-anak sekolah, mahasiswa, guru, dosen, pegawai pemerintahan, militer, pejabat negara mengangkat tangan tanda penghormatan. Tentu suasana istimewa terpusat di Istana. Barangkali hanya buruh, petani, penganggur, pekerja swasta yang tidak menghadiri upacara, karena memang tidak diundang.

Enam puluh tahun usia kemerdekaan. Bukan berarti semua rakyat nusantara mengamini soal merdeka-nya negara mereka. Di samping mereka yang antusias menyambut gembira gempita 17-an, ada juga yang memiliki pandangan berbeda; mempertanyaan kemerdekaan apa yang dirayakan atau diperingati negara?

Merdeka itu seperti apa? Merdeka itu yang mana? Merdeka dari apa?

Merdeka secara tegas merupakan antitesis dari penjajahan, perbudakan, kolonialisme, apa saja namanya yang semakna.

Menengok latar sejarah, kemerdekaan sebuah negara (nation state) baru bernama Indonesia diproklamirkan 17 Agustus 45, tepat 67 tahun berlalu. Sebuah proklamasi yang lama dirindukan oleh segenap putra-puteri nusantara.

Merdekanya Indonesia adalah terlepasnya belenggu kolonialisme Jepang –jg Belanda sebelumnya—dengan semangat keindonesiaan (sumatera, jawa, kalimantan, sulawesi, bali, nusa tenggara dan irian). Merdeka indonesia adalah pernyataan proklamasi sekaligus pengibaran bendera oleh anak bangsa.

Semacam sebuah gong yang menandakan, usailah penjajahan berabad-abad yang dialami. Sekaligus sebagai penanda dan pesan pada dunia, “telah berdiri dan berdaulat sebuah negara bernama Indonesia”. Setelah peristiwa tersebut, negara baru merangkak, bergerak, mencapai cita-cita dalam kehidupan bernegara. Sampai pada pembahasan ini, maka kemerdekaan Indonesia adalah terlepas dari penjajahan, perbudakan, kolonialisme –apapun namanya—langsung dan bersifat fisik-intervensi militeristik atau pendudukan militer oleh pihak lain.

Namun seiring berkembangnya jaman, juga memberikan perubahan makna pada sebuah kata. Entah itu pengurangan-penambahan makna, perluasan-penyempitan makna, dan lain sebaginya. Sebagai contoh kata “Saudara” dulu makna awalnya menunjuk pada orang yang memiliki hubungan darah seperti kakak. Selanjutnya kata “Saudara” tidak lagi terbatas untuk menunjuk pada orang yang memiliki hubungan darah, namun juga menunjuk orang yang tidak memiliki hubungan darah. Kita bisa menyebutnya untuk teman, bahkan orang yang baru sekalipun dikenal.

Penjajahan pun demikian. Kalau dulu penjajahan lebih dimaknai sebagai penindasan dengan kekuatan fisik militeristik atau pendudukan militer demi kepentingan tertentu. Maka sekarang, penjajahan tidak lagi bisa dibatasi hanya dengan makna tersebut. Penjajahan juga mengalami perluasan, yaitu dominasi dan intervensi pihak lain dalam banyak aspek; politik, keamanan, ekonomi, budaya, dsb. Kalau dari penjajahan persepsi ini, maka sebaliknya merdeka adalah sebuah keadaan tanpa terbelenggu dan tersandera oleh pihak lain dalam segenap dimensi kehidupan; politik, keamanan, ekonomi, budaya, dsb.

Jadi, ketika pembahasan penjajahan-merdeka dengan menengok Palestina, Irak, Afganistan, maka Indonesia bisa disebut merdeka dari penjajahan fisik-pendudukan militer. Betul merdeka lah negara Indonesia. Namun sebaliknya dengan melihat realitas yang terdapat di negara ini, akan terlihat betapa negara ini sering “mengalah” dan dikalahkan oleh intervensi pihak luar yang berkelindan dengan komporadornya dalam dimensi politik, ekonomi, budaya. Sungguh jauh dikata kalau inilah sebuah kemerdekaan. Mengapa? karena keadaanya tidak berubah; ada pemerasan, penindasan, penjajahan. Bahkan lebih parah, penjajahan gaya baru (neo-kolonialisme) seperti yang disebut oleh Vandana Shiva, adalah merampas seluruh kehidupan.

Ah, tidak perlu berpanjang lebar saya tulis disini penjajahan dengan persepsi yang luas itu. Sudah kian sering dipotret media, diulas pengamat, dan dibincangkan di warung-warung kopi. Kalaulah kata-kata merdeka masih gegap gempita di mayapada, tak kalah dengan kembang api yang menghujani langit, semoga itu bukan semacam ekstase terjajah. Semoga pula bukan candu penghibur duka nestapa. Semoga menjadi sugesti kolosal, bahwa bumi kita masih terjajah dengan penjajahan persepsi mutakhir. Sehingga terlecutlah, terpantiklah perjuangan dalam segenap lini kehidupan untuk merengkuh kemerdekaan yang hakiki.

Selesai, 17/8/12

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline